Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Tahun
berganti tahun. Tak terasa diri ini sudah masuk usia kepala dua. Usia yang kata
orang seharusnya sudah dewasa, tapi aku merasa masih begini-begini saja.
Di sisi lain, tugas dan amanah yang kuampu, ditambah
lagi melibatkan orang lain di dalamnya, menuntutku untuk lebih bijak sehingga
bisa bekerja secara profesional, humanis, dan tentunya aku bisa menikmati
setiap proses itu. Aku sadar betul bahwa diri yang biasa-biasa saja, tidak
mengasah kemampuan emosional sehingga tidak adaptif, selalu terbentur, dan
tidak belajar dari kesalahan yang lalu akan menghancurkan diriku sendiri. Aku
tidak boleh begini-begini saja.
Aku kemudian menepi sejenak, mengambil jarak,
memberikan ruang untuk diriku bertafakur. Aku
harus berubah. Aku harus menjadi pribadi yang lebih baik. Aku harus memulainya.
Pernah aku bertekad ingin menjadi penyabar, namun
tiba-tiba seorang teman hilang tanpa kabar, meninggalkan tumpukan tugas yang
akhirnya aku-lah yang menyelesaikannya. Keesokan harinya teman lain datang,
mengomentari kerjaku yang tak optimal atas tugas itu. Baru saja rasanya aku
ingin bersabar, aku sudah dibuat marah oleh dua orang temanku itu.
Pernah aku mencoba hal lain yang barangkali bisa membuat
perasaanku merasa cukup dan lebih bersyukur yaitu memberi. Aku bangun pagi-pagi
sekali membuatkan kue untuk temanku. Ku antarkan kue itu ke kosnya. Keesokan
harinya aku tak sengaja ke sana lagi dan kue itu belum berkurang sedikitpun.
Aku terpikirkan satu hal yang sangat penting, yaitu
aspek spiritual. Aku berusaha mendisiplinkan shalatku dengan harapan kelak
timbul rasa nikmat dari shalat tepat waktu, syukur-syukur membuatku benar-benar
khusyu’ dan berihsan. Sampai suatu ketika adzan berkumandang, aku sudah
meniatkan akan langsung shalat, tapi tugasku kurang satu paragraph lagi.
Tanggung. Aku perlu menyelesaikannya dulu. Tanpa terasa, aku shalat setelah
satu jam kemudian.
Aku juga ada pengalaman mencintai seseorang dalam
waktu yang cukup lama. Ku pikir itu adalah salah satu hal yang harus kubenahi.
Agaknya mencintai seseorang, acap kali membuatku kepikiran, bisa mengacaukan
fokusku. Seringkali aku ingin menyudahinya dengan bersikap ‘bodo amat’, tidak
mencari Si Dia, dan lebih menyibukkan diri. Ketika aku memulai semua itu, maka
saat itulah ia muncul. Pada saat itu pula rasa kasmaran mengalami eskalasi
sekali lagi.
Pada satu titik, aku sempat kesal dan sedikit putus
asa. Ya Allah, kenapa begini? Aku ingin
menjadi lebih baik, tapi kenapa malah cabaran datang bertubi-tubi? Kalau
begini, kapan aku baiknya, ya Allah?
Aku mencoba bangun di heningnya malam. Sengaja. Semoga kali ini bisa khusyu’. Aku terus
melayangkan protesku itu sampai menangis. Rasanya tak berdaya lagi. Semakin aku
berusaha, rasanya semakin sulit. Sampai aku benar-benar kehabisan akal, aku
berserah. Ya Allah, sekarang aku berserah
pada kehendak-Mu. Hidup ini sepertinya tidak akan mulus, maka dengan bismillah
aku jalani dan memohon petunjuk dari-Mu untuk mengambil pelajaran.
Aku melanjutkan dengan membaca Al-Qur’an. Aku terhenti
di QS. Al-Ankabut ayat 2, “apakah manusia mengira bahwa mereka akan
dibiarkan hanya dengan mengatakan: “Kami telah beriman”, dan mereka tidak
diuji?”
Aku tertegun sejenak. Jika menyatakan beriman, maka keimanan itu diuji.
Benar bahwa ketika aku ingin sabar maka kesabaran itu diuji. Benar bahwa ketika
aku ingin menjadi lebih baik, maka kebaikanku itu diuji. Benar jika aku ingin
menetralkan hati, maka hatiku diuji.
Tuhanku,
Pada-Mu kami bersimpuh
Mengadukan keluh dan peluh
Memohon bimbingan-Mu seluruh
atas akal dan hati yang sering bergemuruh
Komentar
Posting Komentar