Mikroplastik adalah Makroproblem
Oleh: afif Yati
ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
قُلْ
سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلُ
ۚ كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُشْرِكِينَ
Telah nampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, agar
mereka merasakan sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali
(ke jalan yang benar).Katakanlah: “Adakanlah perjalanan di muka bumi dan
perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. Kebanyakan dari mereka itu
adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah). (Ar Rum:41-42)
Ayat di atas secara
tersurat menyatakan adanya kerusakan di darat dan di laut akibat tangan
manusia serta manusia
diperintahkan untuk memperhatikannya atau mentadabburinya. Tanpa menyampingkan beragam
tafsir ayat tersebut, secara dangkal kita semua telah disadarkan tentang
kerusakan alam yang kini terjadi. Salah satunya akan dibahas
di sini, yaitu kerusakan laut akibat mikroplastik.
Plastik
sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Plastik dianggap murah dan nyaman digunakan. Oleh karena itu, penggunaan
plastik terus menerus meningkat di sekitar 80 tahun ini dan limbah yang
dihasilkan menjadi masalah serius bagi ekosistem laut. Sementara penguraian sampah plastik membutuhkan waktu sangat lama hingga
ratusan tahun dan hanya sampai menjadi mikroplastik, sangat sulit menjadi lebih
kecil dari itu.
Mikroplastik adalah partikel
plastik yang berukuran kurang dari 5 mm. Plastik yang diurai sejak awal
penggunaannya digolongkan dalam mikroplastik primer. Sedangkan penguraian lebih
lanjut dari mikroplastik primer oleh faktor eksternal seperti radiasi UV,
angin, gelombang, atau hewan disebut sebagai mikroplastik sekunder. Mikroplastik
umumnya terakumulasi di dalam tanah, air sungai, dan laut juga masuk ke dalam
rantai makanan karena ikut masuk bersama makanan hewan baik darat maupun laut
(Anonim, 2017). International Union for Conservation of Nature and
Natural Resources (IUCN)
menjelaskan ada tujuh sumber utama mikroplastik yaitu ban kendaraan, bahan
sintetis, pelapis alat-alat laut (marine coating), penanda jalan, produk
perawatan pribadi, sampah kota, dan pelet plastik. Dua pertiga sumber
mikroplastik primer berasal dari jalan (ban, penanda jalan, dan lain-lain)
(Anonim, 2017).
Pada tahun
2010, lebih dari 2,5 juta ton sampah dihasilkan dari 192 negara dan sekitar 275
juta tonnya adalah sampah plastik. Diperkirakan 4,8 hingga 12,7 juta ton sampah
plastik terdeposit hingga ke lautan. Dalam hal ini, Indonesia merupakan negara penghasil sampah plastik ke laut terbanyak ke dua di dunia. Setiap
kilometer laut terkandung 63,320 partikel mikroplastik dengan kecenderungan
menumpuk di kawasan laut tertentu, misalnya di laut sekitar Asia Timur
terkandung mikroplastik 27 kali lebih
banyak daripada kawasan laut lainnya
(Anonim, 2016). Salah satu kawasan konsentrasi
mikroplastik terbesar di dunia adalah Samudra Pasifik Utara yang disebut dengan
The Great Pacific Garbage Patch (Harse, 2011).
Beberapa jenis plastik dibuat dengan menambahkan bahan kimia
tertentu sesuai tujuan pembuatan plastik. Komponen ini biasanya membuat benda
yang dihasilkan tidak mudah diurai oleh mikrobia tertentu, resisten terhadap
sinar UV, tahan terhadap air, mudah dibentuk, dan tidak mudah terbakar. Setelah
menjadi sampah, bahan kimia tersebut bisa termakan atau masuk bersama makanan
hewan laut. Pada konsentrasi tertentu, hal ini dapat menyebabkan respon
immunotoksikologi, gangguan reproduksi, gangguan perkembangan embrio, gangguan
endokrin, dan perubahan ekspresi gen (Anonim, 2016).
Lebih dari 250 spesies hewan ekosistem laut diketahui dari menelan
dan terpengaruh dampak mikroplastik. Beberapa spesies di antaranya adalah
kura-kura, penguin, burung camar dan auk, paus bali, paus bergigi, anjing laut,
singa laut, ikan, dan krustasea. Burung-burung di laut dan beberapa vertebrata
memakan langsung plastik di laut seperti tutup botol dan fragmen plastik
(Harse, 2011). Sementara jenis filter feeder seperti kerang pasti akan
menelan mikroplastik yang terbawa arus air laut. Hewan pemakan sampah seperti
udang dan kepiting tidak membedakan antara pakan organiknya dan sampah plastik.
Hewan-hewan kecil ini merupakan makanan hewan besar seperti tuna dan paus.
Sehingga tubuh hewan tersebut juga ikut tercemar ditambah dengan sampah yang
mereka telan langsung (Avio et al, 2016).
Masuknya mikroplastik ke pencernaan hewan laut akan mencemari tubuh
hewan tersebut. Diperkirakan pada level yang tinggi seperti pada tuna dan ikan
todak pda beberapa kondisi dapat mempengaruhi kesehatan manusia. Penelitian
terbaru menunjukkan bahwa terdapat debris plastik dan serat tekstil di
pencernaan ikan laut yang ada di pasar Indonesia dan California. Fakta lain
juga menunjukkan adanya mikroplastik terutama serat sintetis di beberapa
makanan, termasuk air minum, bir, madu, gula, dan garam dapur (Anonim, 2016).
Pada tahun
2015, dunia sepakat bahawa isu ini menjadi perhatian seluruh dunia sehingga
menjadi salah satu target Sustainable Development Goals 2025 untuk
mencegah dan mengurangi semua jenis polusi laut baik yang berasal dari darat
maupun dari aktivitas di laut. Pertama, beberapa Negara telah melakukan langkah
pencegahan polusi mikroplastik yang berfokus pada pengurangan penggunanaan
kantong platik. Pertama adalah adanya larangan penggunaan kantong plastik secara legal di beberapa Negara seperti Tanzania, Afrika Selatan,
Kenya, Uganda, Cina, dan beberapa Negara bagian Amerika Serikat. Larangan
tersebut diberlakukan bagi kantong plastik tipis yang biasanya hanya digunakan
sekali, beberapa dari Negara tersebut melarang penggunaan kantong plastic
konvensional dan membolehkan menggunakan kantong plastik yang bisa didegradasi.
Sebagian kecil Negara melarang penuh kantong plastik jenis apapun seperti Rwanda dan Somalia. (Summer, 2012). Kedua,
beberapa Negara memberlakukan pajak penggunaan kantong plastik. Irlandia
berhasil mengurangi penggunaan kantong plastik hingga 95%. Masyarakat Irlandia diwajibkan membayar 15 eurocent untuk setiap kantong
plastik (Chowra, 2013). Ketiga, inovasi kantong plastik biodegradable. Beberapa jenis kantong yang biasa digunakan adalah oxobiodegradable
dan kantong plastik dari pati. Kantong plastik dari pati adalah satu-satunya
jenis plastik yang bisa didegradasi secara sempurna (Chowra, 2013). Keempat
adalah produk kosmetik bebas mikrobeads telah diterapkan di Belanda,
Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan Inggris. Negara-negara ini juga
mengembangkan aplikasi smartphone untuk memindai keberadaan microbeads
dalam produk kosmetik. Kelima, Uni Eropa mengembangkan proyek MERMAIDS dengan
melakukan pencucian tekstil untuk mengatasi polusi serat mikroplastik. Pada
proyek ini diselidiki berbagai teknologi inovatif yang dapat menangkap serat
yang dilepaskan dalam proses pencucian atau mencegah kerusakan serat pakaian
melalui tesktil atau aditif deterjen (Anonim 2016).
Referensi
Anonim. 2017. Microplastic
Pollution. CIWEM. London.
Anonim. 2016.
Microplastics: Trouble in The Food Chain.UEP Frontiers 2016 Report.
Avio, C., G.,
Gorbi, S., Regoli, F. 2016. Plastics and Microplastics in The Oceans: From
Emerging Pollutants to Emerged Threat. Marine Environmental Research.
xxx: 1-10
Chowra, I. 2013.
The Ecological Impacta of Marine Plastic Debris in The South Pacific Region. MJ153X
Degree Project in Energy and Environment, First Level, 2013
Harse, G., A.
2011. Plastic, The Great Pacific Garbage Patch, and International Misfires at A
Cure. UCLA Journal of Environment Law and Policy. Vol.20(2): .
Wu WM, Yang J, Criddle CS. 2017.
Microplastics
pollution and reduction strategies. Frontiers
Of Environmental Science & Engineering. Vol.11(1):6. DOI: 10.1007/s11783-017-0897-7
Komentar
Posting Komentar