Memasuki penghujung masa kuliah ini, kepalaku
diselimuti banyak pikiran. Tentu saja pikiran tentang skripsi, ditambah lagi
tentang kehidupan setelahnya. Orang-orang menyebut hal ini sebagai quarter life crisis, yaitu masa-masa di
mana seseorang mengkhawatirkan masa depannya. Tidak jauh-jauh, kekhawatiran itu
seputar karir, jodoh, rejeki, dan impian-impian. Sesuai namanya, kondisi ini
biasanya dialami oleh orang di usia sekitar 20-25 tahun. Ya, seperti aku ini.
Ketakutanku ini semakin menjadi-jadi di saat aku
memasuki fase finalisasi skripsi. Aku masih belum yakin betul setelah lulus
kuliah akan melakukan apa. Pandemi covid-19 rasanya semakin memperparah
ketakutanku karena berpotensi besar mengacaukan rencana-rencanaku. 'Kuliah memang berat, jadi pengangguran lebih
berat'. Begitu terus kalimat yang kupikirkan.
Ketakutanku ini tidak hanya soal kekhawatiran
kegagalan diriku pribadi. Hal ini juga terkait dengan kemungkinan bisa atau
tidaknya aku memenuhi janjiku kepada kedua orang tuaku, yaitu membantu
perekonomian keluarga. ‘Kerja aja belum jelas bisa apa engga, apalagi mau bantu
perekonomian keluarga’. Sebuah suara
samar datang lagi entah dari hati atau pikiran sebelah mana.
Kekhawatiran demi kekhawatiran akan masa depan terus
berdatangan seperti tak ada habisnya. Rupa-rupanya kekhawatiran itu turut
memenuhi ruang berpikirku. Ruang berpikir yang seharusnya aku gunakan untuk
skripsi, kini sudah penuh. BOOM. Mind
blocked. Aku tak bisa melanjutkan mengerjakan skripsi. Sungguh ini kondisi
yang sia-sia, memikirkan hal yang belum pasti, tapi melalaikan tugas yang di
depan mata. ‘Aku harus mengontrol kembali pikiranku dan meredam kekhawatiranku’.
Selepas shalat maghrib, aku menelpon orang tuaku. Waktu
seperti ini adalah waktu yang paling mungkin mereka luang. “Ayah,” kataku
membuka pembicaraan. Tiba-tiba terdengar sahutan kakakku dari belakang, “Apa?!
Mau nikah, kek temenmu, Si Ayu?!” Aku mengabaikan sahutan menyebalkan itu dan melanjutkan,
“rasa-rasanya, yang kuhadapi semakin sulit. Maksudku bukan skripsi. Tapi fase-fase
ke depan seperti bekerja, menikah, dan lain-lain. Maksudku begini. Kondisi pandemi
ini tentu menghambat beberapa hal sehingga rencana pasca kampusku akan
berantakan. Pahit-pahitnya, aku pulang dan tidak langsung bekerja. Lalu apa
yang bisa kulakukan? Ayah sudi kalau anaknya bertani atau beternak? Lalu dari
hasil itu kita berwirausaha? Maksudku, aku menjadi sarjana, tapi gelarku tidak
membawaku pada pekerjaan sebagaimana idealnya.”
Ayah terdiam sebentar. “Yah. Denger, kan? Aku serius,
lo.” Aku langsung menegaskan karena khawatirku Ayah akan menjawab dengan
candaan seperti biasa agar aku lebih santai. “Iya, denger. Serius juga ini.
Pertama, kamu pulang dulu. Udah lama ga pulang, kan? Pulanglah…. Mumpung masih
ada orang tua dan adik-adikmu yang lucu ini. Kedua, kuliah itu nyari ilmu,
bukan sekedar gelar apalagi pekerjaan. Akan dipakai seperti apa ilmu itu nanti
setiap orang beda-beda, yang penting ilmu itu kamu pakai untuk yang baik-baik
saja. Ketiga, di kampung ini enak kok. Banyak hal bisa dilakukan. Terakhir,
hidup ini memang penuh tantangan. Semua terasa serba sulit, tapi kalau dilalui
bisa-bisa saja. Kunci hidup ini adalah yakin akan karunia Allah dan mau
berusaha. Kamu pulang saja dulu, lakukan apa yang bisa dilakukan. Ah….. sebagai
sarjana, tentunya kamu harus bisa lebih kreatif dan inovatif dalam bekerja atau
menyelesaikan masalah karena sarjana itu harusnya berwawasan luas dan mudah
belajar, kan?”
‘Allah… Kemana saja aku selama ini sampai lupa akan
kuasa-Mu. Khawatir ini itu padahal semua ini sudah ada yang mengatur.
Konsep tawakkal tak masuk ke sanubari,’ renungku setelah menutup telpon. Aku
bahkan hafal ayat tentang kondisiku ini. Ayat yang berisikan kisah Nabi Ya'qub
as memberi semangat kepada anak-anaknya, bahwa janganlah mereka berputus asa
dari rahmat Allah Swt. "Hai anak-anakku,
pergilah kalian, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya, dan jangan
kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari
rahmat Allah melainkan kaum yang kafir.” (Qs. Yusuf: 87). Dengan kata lain,
janganlah kalian putus harapan dari rahmat Allah dalam menghadapi tantangan dan
meraih cita-cita yang dituju. Karena sesungguhnya tiada yang berputus harapan
dari rahmat Allah kecuali hanyalah orang-orang kafir. Ya lagi-lagi ayat
ini rupanya belum sampai ke sanubariku, karena hafal saja tak cukup jika tak ditadaburi dan diamalkan.
Komentar
Posting Komentar