Langsung ke konten utama

Si Corona dan Cobaan Ketamakan





Si Corona adalah sebutanku untuk menyebut virus pandemi yang saat ini sedang ‘naik daun’. Nama resminya adalah SARS-Cov-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2). Penyakitnya disebut Covid 19 (Corona Virus Disease 2019). Sampai di sini perkenalan diri Si Corona.
Aku tidak mau menyebutkan gejalanya. Percuma. Di televisi, kulihat banyak sekali orang yang baru percaya bahaya Si Corona setelah mengalami ‘serangannya’ secara langsung. Terutama pemerintah pusat yang masih haha hihi ketika Wuhan sedang panik-paniknya. Bayangkan, tiket pesawat domestik tujuan daerah pariwisata diskon 50%. Saat Si Corona ini tiba di bumi pertiwi, mereka masih main politik tipu-tipu. Hmm, kurang menyebalkan apa mereka?!
            Bagaimanapun juga, aku tidak ingin terus-terusan marah. Suara akar rumput, kaum rebahan pula, tidak akan berpengaruh apa-apa. Sebagai bagian dari kaum rebahan -mahasiswa tingkat akhir yang tinggal berkutat dengan penelitian, dilanjut rebahan- memang sebaiknya aku rebahan saja sesuai dengan kampanye masyarakat +62: #dirumahaja. Bayangkan, katanya, saat ini rebahan saja bisa jadi pahlawan nasional. Akhirnya martabat kaum rebahan diperhitungkan. Hihi.
            Di sisi lain, rebahan saja berarti aku kehilangan banyak hal. Skripsi tertunda, maka wisuda tertunda, pulang kampung tertunda, everything is postponed, termasuk pemasukan uang yang biasanya dari ngajar les sana-sini sudah tidak ada lagi. Pada satu kesempatan aku bahkan menangis. Sudah berumur segini, mestinya aku bisa menghidupi diri sendiri. Tapi karena pendemi, terpaksa aku meminta uang ke orang tua. Kamu bisa bayangkan betapa tidak enaknya aku meminta uang kepada orang tuaku yang bisa saja juga terdampak pandemi di kampung sana.
Beruntungnya, aku hidup di kontrakan dengan kekeluargaan yang tinggi. Selama pandemi berlangsung, kami jadi sering diskusi banyak hal, shalat berjamaah tepat waktu, ada yang upgrade bahasa inggris, ada yang upgrade skill masak dan yang lain tinggal makan dengan bahagianya. Grup WA kami juga setiap harinya diberi kabar gembira atas bantuan logistik dari sana sini. Maklum, teman kontrakanku rata-rata punya jejaring yang luas.
Pada suatu hari, ada kabar pendataan bantuan logistik dari aliansi mahasiswa UGM dan fakultasku. Teman-teman kontrakan tak lupa mengingatkan untuk mengisi formulir itu. Tanpa teliti, aku mengisi keduanya. Pikirku, “ah, bisa saja kedua data ini nanti disinkronkan agar tidak double”.
Salah seorang teman kontrakan telah lebih dahulu menerima bantuan logistik dari fakultasnya. Syarat tambahannya adalah mengambil bantuan itu sendiri di fakultasnya. Menjelang hari pengambilan bantuan, ia ribut karena sulitnya mencari masker medis. Padahal masker inilah yang biasa digunakan untuk praktikum, harganya murah dan mudah ditemukan di koperasi fakultas. Tapi saat itu harganya melambung tinggi, ‘harga teman’ saja dua belas ribu rupiah untuk lima buah masker dari sebelumnya harga seribu rupiah perbuahnya. Ia kemudian mencari hand sanitizer di beberapa minimarket langganan kami. Stok hand sanitizer ternyata di mana-mana sudah habis. Tak hanya itu, saat yang sama ia juga hendak membeli telur ayam. Telur ayam juga habis. “Dasar tamak. Kalau begini terus, yang punya banyak uang akan terus menumpuk kebutuuhan, yang lainnya tidak kebagian, jadilah orang yang banyak uang secara tak langsung membunuh orang yang tak beruang”, umpatku. Ternyata tidak hanya kami yang mengalami hal ini. Laman-laman berita mulai ramai dengan headline “panic buying”, “pandemi ini memperlihatkan pada kita orang baik dan orang jahat yang sesungguhnya”, “seleksi alam yang beruang dan tak beruang”, begitulah kira-kira.
Selang beberapa hari berikutnya aku dipanggil ke gelanggang mahasiswa untuk  mengambil bantuan. Beruntungnya saat itu ada kabar bahwa masker kain bisa  untuk mencegah penularan Si Corona sehingga aku cukup pakai itu saja. Setibanya di gelanggang, aku disemprot dengan desinfektan, lalu aku mengambil bantuan dari dengan jarak tiga meter dari panitia, dan aku pun tak bisa berbalasan senyum dengan panitia. Ketika di perjalanan pulang, aku sedih mengingat-ingat momen itu. Hatiku sudah pilu sejak disemprot desinfektan, “am I a pathogen? Hiks”. Tapi apa daya, itulah prosedur yang saat dianjurkan. Walaupun aku merasa itu tidak berefek, mau gimana lagi, semua orang sedang parno.
Kesedihanku belum apa-apa rupanya. Dua hari kemudian aku ditelpon ibuku. Beliau khawatir karena sudah lama aku tidak menelpon ke rumah. Tentu saja karena aku tidak punya budget untuk pulsa. Kata beliau ayah bahkan tak bisa tidur memikirkan empat anaknya yang masih di tanah rantau. Ayah sebetulnya tidak selemah itu. Beliau selalu percaya dengan kemampuan survival anak-anaknya. Hanya saja ia dibuat panik oleh ramainya orang yang pulang kampung termasuk anak-anak di sekitar rumah dan teman teman ayah yang bahkan sudah lama di Sambas tiba-tiba pulang ke Jawa. Saat itu aku mengabari bahwa makanku masih kenyang, tidurku masih lena, senyumku masih sumringah.
Kegundahan orang tuaku terus menerus membuat hatiku tak tenang. Sampai akhirnya kuputuskan untuk menumpang ke rumah tante di Banjarnegara saja. Kakakku memberiku uang, lalu aku segera membeli tiket travel. Sepulangnya dari membeli tiket, aku membuka sosmed sambil melepas lelah. Lalu aku menemukan namaku di info bantuan logistik yang dibagikan oleh BEM fakultas. Ternyata aku dijadwalkan mengambil bantuan jam 13.00 sementara aku membaca info itu jam 15.00. Kulihat bingkisan bantuannya lebih besar dari yang pertama ku dapat. “Lumayan”, batinku. Lalu aku sadar diri bahwa sudah tak sepatutnya aku mendapat bantuan itu. Toh aku akan menumpang ke rumah tanteku, tentu saja hidupku akan terjamin. Kemudian aku mengonfirmasi pembatalan kepada panitia fakultas.
Apakah kamu tahu di mana pelajaran terbesarnya?
Untung saja aku terlambat mengetahui info itu. Bayangkan jika aku tepat waktu, mungkin aku akan mengambilnya juga karena merasa “lumayan. Eman-eman kalau ga diambil.” Karena walaupun bukan aku yang menikmatinya, mungkin akan kuberikan kepada teman-teman kontrakanku. Tapi kembali ke perkara dasar yaitu apakah aku orang yang berhak menerima bantuan itu? Bantuan itu jelas untuk mahasiswa yang terancam ketahanan logistiknya, sedangkan aku akan segera terjamin karena menumpang di rumah tanteku. Pelajaran terbesarnya adalah aku menyadari bahwa dalam diri ini ternyata masih menyimpan sifat tamak, tak berbeda dari orang-orang yang kuumpat sebelumnya. Hanya saja aku sangat beruntung karena Allah menyelamatkanku dari ketamakan itu dengan sebuah skenario ‘terlambat’. Sejak saat itu aku menambahkan kalimat baru dalam doaku yang intinya memohon tuntunan dan petunjuk di setiap saat. Manusia sejatinya lemah, mudah sekali khilaf. Kalau bukan karena Allah ia terselamatkan, lantas karena siapa lagi?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diary: Kesepian

 Hello, welcome back to my blog. It has been so long time no post. My bad.  Setelah kosong melompong dan hampir dihuni dedemit, aku memutuskan untuk mengisi lagi blog ini. Bukan tanpa alasan. Sebetulnya aku sudah memiliki akun di media lain untuk menulis yg agak serius dan rencananya blog ini akan ku isi dengan curahan hatiku saja. Aku harus melakukan ini agar kepalaku tidak berisik dan hatiku tidak tercabik oleh kesendirian yang kian menyerang mentalku. Ya, aku adalah manusia ekstrovert yang harus banget mengekspresikan jatah 5000 kata perharinya. Jika tidak, bermacam-macam perasaan buruk menghantuiku, rasa kesepian, rasa diasingkan, rasa tak laku karena belum nikah. Eh.  Aku masih ingat saat pertama merasa kesepian. Ketika pindah ke Jatinangor, aku tinggal di sebuah kos yang individualis dan tidak ada teman yang ku kenal di sini. Aku semakin merasa asing lantaran hampir tak ada waktu untuk aku bertemu dengan tetangga kamarku. Pagi hari tentu kami sibuk beraktivitas, malam hari aku su

Resensi Generasi Strawberry

Judul: Strawberry Generation Penulis: Prof. Rhenald Kasali, Ph.D Penerbit: Mizan Tahun Terbit: 2017 Jumlah Halaman: 279 halaman Resensi oleh: Afif Yati Prof. Rhenald Kasali menyebut generasi saat ini sebagai generasi strawberry. Diibaratkan strawberry, generasi saat ini terlihat bagus tapi rapuh. Bahkan digosok dengan sikat gigi saja ia bisa rusak. Padahal sikat gigi terasa lembut bagi gigi kita. Singkatnya, generasi ini cenderung lemah, malas, minim pengalaman, tidak pandai mengambil keputusan, mudah terluka hatinya, sulit keluar dari zona nyaman, dan bermental passenger. Kenapa generasi ini menjadi seperti strawberry? Penulis menyebutkan setidaknya ada tiga kesalahan dalam pembentukan generasi ini yaitu kesalahan dalam pengasuhan orang tua, kesalahan dalam pendidikan, dan kondisi lingkungan yang sudah berubah. Sebagian besar masyarakat kita memiliki kecukupan finansial untuk memenuhi segala kebutuhan anaknya. Anak-anak itu kemudian akan hidup dalam kemudahan dan