Langsung ke konten utama

Resensi Generasi Strawberry




Judul: Strawberry Generation
Penulis: Prof. Rhenald Kasali, Ph.D
Penerbit: Mizan
Tahun Terbit: 2017
Jumlah Halaman: 279 halaman
Resensi oleh: Afif Yati
Prof. Rhenald Kasali menyebut generasi saat ini sebagai generasi strawberry. Diibaratkan strawberry, generasi saat ini terlihat bagus tapi rapuh. Bahkan digosok dengan sikat gigi saja ia bisa rusak. Padahal sikat gigi terasa lembut bagi gigi kita. Singkatnya, generasi ini cenderung lemah, malas, minim pengalaman, tidak pandai mengambil keputusan, mudah terluka hatinya, sulit keluar dari zona nyaman, dan bermental passenger.
Kenapa generasi ini menjadi seperti strawberry? Penulis menyebutkan setidaknya ada tiga kesalahan dalam pembentukan generasi ini yaitu kesalahan dalam pengasuhan orang tua, kesalahan dalam pendidikan, dan kondisi lingkungan yang sudah berubah.
Sebagian besar masyarakat kita memiliki kecukupan finansial untuk memenuhi segala kebutuhan anaknya. Anak-anak itu kemudian akan hidup dalam kemudahan dan minim perjuangan. Segala hal bahkan bisa dibantu oleh orang tuanya seperti masuk ke sekolah ternama hingga masuk ke perusahaan besar. Tak hanya itu, orang tua sekarang banyak yang serba mengatur anaknya, superprotektif. Akhirnya anak tersebut tidak bisa mengambil keputusan sendiri, tidak kaya pengalaman, tidak berani menaklukkan tantangan. Orang tua seperti ini akan membuat pikiran anak ‘lumpuh’ dan bermental passenger. 
Wajah pendidikan kita saat ini cenderung melelahkan dan membosankan. Anak diajarkan begitu banyak mata pelajaran. Pelajaran tersebut sebagian besar mengandalkan otak kiri dan sedikit sekali yang menghargai otak kanan. Minat dan bakat anak tidak terakomodasi dengan baik sehingga tidak berkembang. Anak dipaksa berada di bidang yang bukan minat dan bakatnya sehingga ia yang bisa jadi pintar di bidang lain dikatakan bodoh karena tidak tuntas pelajaran matematika, fisika, geografi. Tak hanya itu, beberapa pelajaran dapat dilakukan dengan mengamati alam, menguji skill, malah hanya dilakukan di kelas dengan ceramah guru yang terkesan hanya memindahkan isi buku ke kepala anak.
Kehidupan yang membosankan itu kalah dengan kehidupan yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi saat ini, salah satunya game. Di sekolah, kecerdasan anak dinilai dari bidang yang tidak sesuai dengan dirinya, dipaksa memahami segudang pelajaran dalam waktu yang sama, dikukung mengikuti apa yang ada di buku. Di rumah, anak yang gagal dalam beberapa mata pelajaran mungkin akan dimarahi oleh orang tuanya. Ia mungkin bahkan dipaksa mendalami bidang yang tidak ia suka karena orang tua tidak memahami minat dan bakatnya, bahkan ada pula yang cuek saja ketika anaknya berprestasi. Game menawarkan kehidupan yang berbeda dari keduanya. Di game, si anak disambut bak pahlawan, lalu diberikan kesempatan berjuang, diberikan senjata yang serba keren, diberi bintang setiap menyelesaikan misi atau menunjukkan kerja yang bagus, ketika gagal ia diberikan kesempatan lagi, saat berhasil ia sangat dielu-elukan. Maka saat ini saingan guru dan orang tua adalah game. Bisakah guru dan orang tua menghadirkan kehidupan yang semenarik dan seapresiatif di game?
Kita menyadari betul bahwa generasi ini lahir di zaman perkembangan teknologi yang sedang hebat-hebatnya. Dunia mereka kini berpindah ke teknologi seperti gawai, komputer, tablet, dan lain-lain salah satunya seperti cerita game di atas. Akhirnya anak kurang kesempatan hidup di dunia nyata, kurang mengeksplorasi alam, dan kurang terlatih empati sosialnya. Di satu sisi mereka menjadi orang yang jago berteknologi, di sisi lain ia akan menjadi kurang berpengalaman, tidak pandai mengaplikasikan ilmunya di kehidupan sehari-hari, tidak pintar mencari solusi, individualis, dan tidak berempati sosial.
Ketika memasuki dunia kerja, anak-anak tersebut akan ‘parah’ juga. Mereka tidak akan betah bekerja dalam tekanan. Bekerja dalam kondisi yang tak sesuai harapan mereka saja mereka tidak betah. Mereka akan cengeng dan tidak tahan menghadapi kritik. Mereka tidak fleksibel terhadap perubahan dan beragamnya masalahnya yang terjadi. Menghadapi anak-anak ini memang sulit. Mereka generasi manja. Oleh karena itu, perusahaan memiliki tantangan baru yaitu melatih anak-anak ini untuk ‘hidup’ sedikit demi sedikit. Namun, apakah selamanya akan seperti itu? Generasi strawberry ini akan tersingkir oleh anak-anak yang bermental driver.
Dari penjelasan di atas sudah cukup menggambarkan generasi strawberry. Penulis juga memberikan saran solusi yang sejatinya berkaca dari tiap-tiap poin masalah yang dijabarkan di atas. Selamat mencoba!
Buku ini merupakan kompilasi tulisan-tulisan penulis yang dimuat di beberapa media massa. Buku ini memberikan kritik yang mendalam bagi kehidupan kita terutama orang tua, pendidik, dan generasi strawberry itu sendiri. Tulisan dengan gaya bertutur membuat segala keresahan, nasihat, dan saran penulis seperti disampaikan bertatap secara langsung. Kasus-kasus yang sangat dekat dengan kehidupan kita akan membuat kita beberapa kali tertampar. Selamat membaca.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diary: Kesepian

 Hello, welcome back to my blog. It has been so long time no post. My bad.  Setelah kosong melompong dan hampir dihuni dedemit, aku memutuskan untuk mengisi lagi blog ini. Bukan tanpa alasan. Sebetulnya aku sudah memiliki akun di media lain untuk menulis yg agak serius dan rencananya blog ini akan ku isi dengan curahan hatiku saja. Aku harus melakukan ini agar kepalaku tidak berisik dan hatiku tidak tercabik oleh kesendirian yang kian menyerang mentalku. Ya, aku adalah manusia ekstrovert yang harus banget mengekspresikan jatah 5000 kata perharinya. Jika tidak, bermacam-macam perasaan buruk menghantuiku, rasa kesepian, rasa diasingkan, rasa tak laku karena belum nikah. Eh.  Aku masih ingat saat pertama merasa kesepian. Ketika pindah ke Jatinangor, aku tinggal di sebuah kos yang individualis dan tidak ada teman yang ku kenal di sini. Aku semakin merasa asing lantaran hampir tak ada waktu untuk aku bertemu dengan tetangga kamarku. Pagi hari tentu kami sibuk beraktivitas, malam hari aku su

Si Corona dan Cobaan Ketamakan

Si Corona adalah sebutanku untuk menyebut virus pandemi yang saat ini sedang ‘naik daun’. Nama resminya adalah SARS-Cov-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2). Penyakitnya disebut Covid 19 (Corona Virus Disease 2019). Sampai di sini perkenalan diri Si Corona. Aku tidak mau menyebutkan gejalanya. Percuma. Di televisi, kulihat banyak sekali orang yang baru percaya bahaya Si Corona setelah mengalami ‘serangannya’ secara langsung. Terutama pemerintah pusat yang masih haha hihi ketika Wuhan sedang panik-paniknya. Bayangkan, tiket pesawat domestik tujuan daerah pariwisata diskon 50%. Saat Si Corona ini tiba di bumi pertiwi, mereka masih main politik tipu-tipu. Hmm, kurang menyebalkan apa mereka?!             Bagaimanapun juga, aku tidak ingin terus-terusan marah. Suara akar rumput, kaum rebahan pula, tidak akan berpengaruh apa-apa. Sebagai bagian dari kaum rebahan -mahasiswa tingkat akhir yang tinggal berkutat dengan penelitian, dilanjut rebahan- memang sebaiknya aku