Langsung ke konten utama

Diary: Kesepian

 Hello, welcome back to my blog. It has been so long time no post. My bad. 

Setelah kosong melompong dan hampir dihuni dedemit, aku memutuskan untuk mengisi lagi blog ini. Bukan tanpa alasan. Sebetulnya aku sudah memiliki akun di media lain untuk menulis yg agak serius dan rencananya blog ini akan ku isi dengan curahan hatiku saja. Aku harus melakukan ini agar kepalaku tidak berisik dan hatiku tidak tercabik oleh kesendirian yang kian menyerang mentalku. Ya, aku adalah manusia ekstrovert yang harus banget mengekspresikan jatah 5000 kata perharinya. Jika tidak, bermacam-macam perasaan buruk menghantuiku, rasa kesepian, rasa diasingkan, rasa tak laku karena belum nikah. Eh. 

Aku masih ingat saat pertama merasa kesepian. Ketika pindah ke Jatinangor, aku tinggal di sebuah kos yang individualis dan tidak ada teman yang ku kenal di sini. Aku semakin merasa asing lantaran hampir tak ada waktu untuk aku bertemu dengan tetangga kamarku. Pagi hari tentu kami sibuk beraktivitas, malam hari aku sudah kelelahan dan ingin istirahat saja, sedangkan akhir pekan sebagian besar mereka pulang kampung. 

Rasa kesepianku mulanya karena iri lantaran tetangga kamarku asik bercengkrama tentang kuliah mereka dan ku bandingkan dengan diriku yang baru pulang kerja di sambut ruangan kamar dan ruang obrolan sosial media yang sama-sama kosong. Tiada orang yang secara fisik maupun virtual untuk ku ajak bicara. Lalu, ya sudah, aku tidur saja. 

Kesepian itu semakin menjadi ketika kerap kali long weekend. Apa yang bisa ku lakukan di libur yang cukup panjang itu? Olahraga? Jalan-jalan? Kuliner? Ah, tak asik kalau tak ada kawan. Ku di kamar saja.

Bagi orang ekstrovert seperti aku, kamar adalah zona depressif, yakni lingkungan yang membuat kualitas hidupku menurun. Aku uring-uringan, malas, dan akhirnya sedih. 

Tidak terasa, sudah 7 bulan aku mengalami hal ini. Sekarang aku cukup pasrah. Kadang, kalau aku sudah tidak sanggup sendiri, aku ngegas ke Bandung, ku tempuh 2 jam perjalanan bus yang membosankan itu demi bertemu temanku. Tapi tidak bisa sering-sering juga karena temanku juga sibuk dengan kegiatannya. Tapi mending, daripada tidak sama sekali. 

Saat ini aku mencoba menghibur diri dengan meningkatkan produktivitas. Aku melanjutkan paper dari skripsiku yang sudah tertunda 3 tahun lamanya. Selain itu aku ngide buat program belajar dengan anak asramaku masa kuliah dulu. Aku juga sudah ngestok berbagai genre bacaan buat selingan. Oiya, aku juga komitmen buat berjalan kaki seminggu 3 kali sebagai olahraga dan menikmati vitamin D, semoga ini bisa memicu dopaminku.

Mau tidak mau, suka tidak suka, kesepian ini harus ku hadapi. Semoga kali ini aku berhasil. Aamiin. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Corona dan Cobaan Ketamakan

Si Corona adalah sebutanku untuk menyebut virus pandemi yang saat ini sedang ‘naik daun’. Nama resminya adalah SARS-Cov-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2). Penyakitnya disebut Covid 19 (Corona Virus Disease 2019). Sampai di sini perkenalan diri Si Corona. Aku tidak mau menyebutkan gejalanya. Percuma. Di televisi, kulihat banyak sekali orang yang baru percaya bahaya Si Corona setelah mengalami ‘serangannya’ secara langsung. Terutama pemerintah pusat yang masih haha hihi ketika Wuhan sedang panik-paniknya. Bayangkan, tiket pesawat domestik tujuan daerah pariwisata diskon 50%. Saat Si Corona ini tiba di bumi pertiwi, mereka masih main politik tipu-tipu. Hmm, kurang menyebalkan apa mereka?!             Bagaimanapun juga, aku tidak ingin terus-terusan marah. Suara akar rumput, kaum rebahan pula, tidak akan berpengaruh apa-apa. Sebagai bagian dari kaum rebahan -mahasiswa tingkat akhir yang tinggal berkutat dengan penelitian, dilanjut rebahan- memang sebaiknya aku

Resensi Generasi Strawberry

Judul: Strawberry Generation Penulis: Prof. Rhenald Kasali, Ph.D Penerbit: Mizan Tahun Terbit: 2017 Jumlah Halaman: 279 halaman Resensi oleh: Afif Yati Prof. Rhenald Kasali menyebut generasi saat ini sebagai generasi strawberry. Diibaratkan strawberry, generasi saat ini terlihat bagus tapi rapuh. Bahkan digosok dengan sikat gigi saja ia bisa rusak. Padahal sikat gigi terasa lembut bagi gigi kita. Singkatnya, generasi ini cenderung lemah, malas, minim pengalaman, tidak pandai mengambil keputusan, mudah terluka hatinya, sulit keluar dari zona nyaman, dan bermental passenger. Kenapa generasi ini menjadi seperti strawberry? Penulis menyebutkan setidaknya ada tiga kesalahan dalam pembentukan generasi ini yaitu kesalahan dalam pengasuhan orang tua, kesalahan dalam pendidikan, dan kondisi lingkungan yang sudah berubah. Sebagian besar masyarakat kita memiliki kecukupan finansial untuk memenuhi segala kebutuhan anaknya. Anak-anak itu kemudian akan hidup dalam kemudahan dan