Langsung ke konten utama

CERITA RUMAH #1



Baru saja aku menelpon keluargaku. Urusannya kalua bukan minta uang ya melepas rindu dengan mendengar celotehan dua bocah di rumah. Bocah kelas 4 SD dan bocah 5 tahun.
“Asssssssalaaaamualaikum.” Alunan salam Bunga  menjawab panggilan telponku.
“Gimana, fif?” Penerima telponnya sudah berganti ke emakku. Maklum, bocah-bocah itu memang ditugasi mengangkat telpon lantaran emak gatau cara mengangkat telpon.
“tumben Bunga bagus salamnya, biasanya ogah-ogahan.”
“oh,,, itu… mereka habis menangkap katak” jawab emak dengan santuynya.
“ha? Nangkep katak malam-malam? Buat apa? Kan nanti malah….”
Belum selesai aku bicara, bocah terkecil tiba-tiba cerita panjang, “ya ngah1, aku, ayah, dan Bunga, tadi nangkep kodok buat umpan pancing. Sueeeeruuu…. Gampang ternyata nangkep kodok malem-malem. Aku dapat yang gendut. uuuh…. Gemes.”
Sekelibat muncul ideku agar pembicaraan semakin menarik, “oh, itu katak. Tau ga kalo katak sama kodok itu beda. Katak yang berlendir, kodok ga berlendir. Kodok itu yang kek di teras rumah yang bisa bikin mata ikan di kaki kadang.”
“oh… itu… aku tau aku tau. Aku dapetnya katak tadi. Ada lendirnya… iiii.” Belum selesai menyeloteh, hp direbut oleh si kakak, Bunga. “oh iya, kodok itu yang bisa beracun itu kan??”
“iya, semakin menarik warnanya, semakin beracun.” Jelasku. Riziq merebut lagi, “oh, tadi warnanya cuma cokelat. Berarti ga beracunlah. Aku kena kencing katak, ngah. Haha.” Suasana mulai ramai, dua bocah itu mulai rebut-rebutan hp. “kamu nonton aja, aku dulu yang ngomong.” Kata Bunga ke adeknya.
Aku langsung teringat tujuan awalku menelpon, yaitu ngomong serius ke ayahku. Obrolan itu selalu kubuka dengan topik santai. Maklum, ayahku beranjak tua, tak sampai hati aku menyusahkannya secara tiba-tiba, harus ada pembuka yang menarik atau santai. “Mereka keknya seneng banget nangkep katak. buat apa emangnya yah?”
“oh… itu buat najor­2. Ya, buat mengalihkan perhatian mereka juga, biar ga nonton melulu. Nyari katak malam-malam kan asik juga. Jadi ya adalah hal-hal buat diceritakan ke teman-temannya nanti. Kegiatan yang unik dan asik gitu.” Ayahku menjawab dengan nada yang seperti masih geli menahan tawa melihat anaknya kegirangan mencari katak.
“wah. Bisa-bisanya.” Lalu aku melanjutkan ke bagian obrolan seriusnya. Bagian serius ini tidak menarik untuk diceritakan. Hehe.
Ayahku saat ini berumur 51 tahun dan masih senang-senangnya mengasuh dua bocah superaktif itu. Hal yang menarik adalah selalu ada cara ayah untuk mengalihkan mereka dari ‘tv melulu’ atau ‘main melulu’. Apalagi gadget, belum saatnya dan memang belum ada rejekinya pula. Tak jarang ayah mengajak si bungsu berburu burung, membawa mereka berdua ke warung sampe si Bunga bisa mengaudit belanjaan ayah, atau diajak ke tempat, tempat ayah membangun atau merenovasi rumah orang. Jadilah si bocah bermain pasir, bahkan sampai memegang kotoran kucing. Membayangkannya selalu membuat kami tertawa. Selalu ada cerita menarik ayah ketika mengasuh anak-anaknya yang tak ada habis-habisnya untuk diceritakan.
Beralih ke topik selanjutnya, aku mengajak Bunga bercerita. Tak jauh-jauh, tentu tentang sekolah. Aku tahu dia sangat bosan ditanya, “gimana PRnya? Gimana sekolahnya?” format itu terlalu kaku yang malah membuatnya bercerita penuh keluh kesah. “katanya kamu suka becandain gurumu?” aku sedikit memantik. Lalu dia bercerita panjang lebar soal gurunya yang asik diajak bercanda. Parahnya, si Bunga sampai berani jahilin atau nakut-nakutin anak gurunya itu. Ditambah lagi panggilan-panggilan lucu yang diberikan sang guru pada setiap anak membuat mereka semakin akrab dengan guru tersebut. Tak hanya itu, adikku si tukang protes ini juga memiliki kesempatan protes di kelas yang katanya rasanya sang guru cukup terbuka. Sungguh kesan yang baik.
Adikku ini sebetulnya sudah beranjak besar. Tiba-tiba ia bercerita tentang koleksi tas temannya hingga temannya yang sudah punya pacar. Entah benar atau tidak, paling tidak hal-hal seperti ini sudah terekam di pikirannya, yaitu tentang koleksi barang yang disukai dan pacaran. “menurutmu itu (pacaran) salah ga?” aku mencoba mengajaknya diskusi.
“kalau udah umurnya, ga salah” jawabnya.
“hmmm… kok ga salah?” sembari bertanya hal itu, aku mencoba menerka-nerka anak kelas 4 SD sudah belajar apa saja. Pendidikan seks yang beradab, kesehatan reproduksi, perbedaan laki-laki dan perempuan, apalagi tentang zina dan macam-macamnya. Sejauh apa pemahamannya, ku belum tau.
“ya, nanti, kalau dah gede laah boleh…” jawabnya.
“bukan. Ga boleh. Kalau kamu sudah agak gede, sudah baligh namanya, itu ada larangan antara laki-laki dan perempuan. Nanti tanya lagi emak sama ayah.” Penjelasan singkatku ini tidak mendapat komentar darinya. Mungkin karena memang dia belum tahu sama sekali.
Si Bunga mengalihkan pembicaraan ke koleksi tas. “temenku tasnya banyak. Kalo bosan, bisa beli lagi. Enak ya jadi anak guru. Aku mah, karena ngerti ayah, jadi menahan nafsu beli-beli gituan. Sepatu pun sampe rusak baru beli.”
“tapi kalau ga butuh kan gausah beli. Gaboleh mubadzir, nanti jadi teman….” Aku belum selesai ngomong, dia lgsg nyeletuk, “ya enak aja gitu punya koleksi.”
“mending punya banyak buku apa tas?” aku teringat cerita minggu lalu saat ia heran kenapa ia membaca buku-buku selain buku sekolah, sementara temannya tidak demikian. Untungnya anak ini mau disuruh baca buku.
“mending banyak buku. Ya, walaupun ga semua buku aku suka bacanya. Aku suka buku yang pelajarannya disampaikan dengan cerita-cerita.” Alhamdulillah, kali ini ia sudah mau membaca bacaan full text setelah sebelumnya katanya suka baca kalau banyak gambarnya.
“tapi, ngah.” Bunga melanjutkan. “aku bingung dengan orang tua kita yang ga seneng, ga ngasi hadiah, atau selamat waktu aku ranking kemarin. Kan aneh. Kok ga bangga? Pikirku aku pengen bikin mereka menyesal.”
“eh. Belajar mah buat diri sendiri. Sudah perintah Allah, berpahala, manfaatnya buat di dunia dan di akhirat. Biar buat bekal hidup, Bunga. Emang mau dihadiahin apa? Aku deh yang ngasi.”
“hmm… jangan deh. Aku teringat isi buku ‘Bukan untuk Dibaca. Ada anak yang menghitung-hitung upahnya di kertas. Ngepel 5 ribu, sampai juara kelas 25 ribu. Totalnya 80 ribu. Lalu ibunya nulis di balik kertas itu: hamil gratis, melahirkan gratis. Sedih ya, ngah. Lah kita dikit-dikit minta upah. Ada lagi di bab 2 nya itu tentang ayah yang udah tua, nanyain tentang burung gereja. Pertanyaannya sampe 5 kali. Si anak males jawab kan. Lalu ayahnya cerita bahwa waktu kecil dia nanya tentang burung gereja sampai 25 kali dan ayahnya menjawab dengan sabar. Anaknya langsung nangis waktu tau itu. Menyentuh ya, ngah. Bagus bukunya. Aku bisa aja bacanya dalam sehari tuh.”
Alhamdulillah, minat baca Bunga mulai tumbuh. Buku yang ia baca tersebut cukup tebal untuk anak selevel Bunga. Baginya, judulnya yang out of the box justru membuat buku itu menarik.
Sebuah capaian yang luar biasa bagiku ketika Bunga tidak hanya minat membaca, tetapi juga bisa menyampaikan isi bacaannya. Padahal ia berada di lingkungan yang minim budaya baca, minim literasi. Melihat hal itu, juga melihat banyaknya stok buku yang ku drop ke rumah membuat ibu berkeingingan menata dan memajang buku-buku itu layaknya di perpustakaan. Sebuah awal yang patut disyukuri.

-annadi

1) panggilan untuk anak ke dua
2) memancing dengan cara dibiarkan semalaman

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Pendidikan: Review

Pendidikan adalah masalah bersama. Dinamika yang ada di dalamnya selalu menarik untuk dibahas. Setiap orang berusaha menyampaikan gagasan, ide, saran, bahkan kritik untuk memperbaiki wajah pendidikan. Oleh karena itu, sampai saat ini kajian tentang pendidikan belum selesai, bahkan semakin ramai. Buku ini adalah salah satu cara menyampaikan gagasan, ide, saran, atau kritik yang dimaksud. Berisi catatan-catatan sederhana tapi kaya akan makna. Tentang ilmu, sejarah pendidikan, tradisi keilmuan, pemikiran tokoh, dan juga nasehat-nasehat orang besar yang dicatat dalam sejarah peradaban Islam. Sebuah refleksi pemikiran untuk mewujudkan wajah pendidikan yang lebih beradab. Begitulah sinopsis menarik di sampul belakang buku yang berjudul “Catatan Pendidikan”. Buku karya Muhammad Ardiyansyah ini adalah sebuah buku pemikiran pendidikan versi ringan setebal 154 halaman yang dicetak di kertas HVS putih ukuran A5. Secara fisik dan redaksi, buku ini sangat cocok untuk pembaca pemula atau p...

mikroplastik

Mikroplastik adalah Makroproblem Oleh: afif Yati ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلُ ۚ كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُشْرِكِينَ Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, agar mereka merasakan sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).Katakanlah: “Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah ). (Ar Rum:41-4 2 ) Ayat di atas secara tersurat menyatakan adanya kerusakan di darat dan di laut akibat tangan manusia serta manusia diperintahkan untuk memperhatikannya atau mentadabburinya. Tanpa menyampingkan beragam tafsir ayat tersebut, secara dangkal kita semua telah disadarkan tentang kerus...

Hanya Ketakutan Sekejap

  Memasuki penghujung masa kuliah ini, kepalaku diselimuti banyak pikiran. Tentu saja pikiran tentang skripsi, ditambah lagi tentang kehidupan setelahnya. Orang-orang menyebut hal ini sebagai quarter life crisis , yaitu masa-masa di mana seseorang mengkhawatirkan masa depannya. Tidak jauh-jauh, kekhawatiran itu seputar karir, jodoh, rejeki, dan impian-impian. Sesuai namanya, kondisi ini biasanya dialami oleh orang di usia sekitar 20-25 tahun. Ya, seperti aku ini. Ketakutanku ini semakin menjadi-jadi di saat aku memasuki fase finalisasi skripsi. Aku masih belum yakin betul setelah lulus kuliah akan melakukan apa. Pandemi covid-19 rasanya semakin memperparah ketakutanku karena berpotensi besar mengacaukan rencana-rencanaku. ' Kuliah memang berat, jadi pengangguran lebih berat' . Begitu terus kalimat yang kupikirkan. Ketakutanku ini tidak hanya soal kekhawatiran kegagalan diriku pribadi. Hal ini juga terkait dengan kemungkinan bisa atau tidaknya aku memenuhi janjiku kepada ...