Baru
saja aku menelpon keluargaku. Urusannya kalua bukan minta uang ya melepas rindu
dengan mendengar celotehan dua bocah di rumah. Bocah kelas 4 SD dan bocah 5
tahun.
“Asssssssalaaaamualaikum.”
Alunan salam Bunga menjawab panggilan
telponku.
“Gimana,
fif?” Penerima telponnya sudah berganti ke emakku. Maklum, bocah-bocah itu
memang ditugasi mengangkat telpon lantaran emak gatau cara mengangkat telpon.
“tumben
Bunga bagus salamnya, biasanya ogah-ogahan.”
“oh,,,
itu… mereka habis menangkap katak” jawab emak dengan santuynya.
“ha?
Nangkep katak malam-malam? Buat apa? Kan nanti malah….”
Belum
selesai aku bicara, bocah terkecil tiba-tiba cerita panjang, “ya ngah1,
aku, ayah, dan Bunga, tadi nangkep kodok buat umpan pancing. Sueeeeruuu…. Gampang
ternyata nangkep kodok malem-malem. Aku dapat yang gendut. uuuh…. Gemes.”
Sekelibat
muncul ideku agar pembicaraan semakin menarik, “oh, itu katak. Tau ga kalo
katak sama kodok itu beda. Katak yang berlendir, kodok ga berlendir. Kodok itu
yang kek di teras rumah yang bisa bikin mata ikan di kaki kadang.”
“oh…
itu… aku tau aku tau. Aku dapetnya katak tadi. Ada lendirnya… iiii.” Belum selesai
menyeloteh, hp direbut oleh si kakak, Bunga. “oh iya, kodok itu yang bisa
beracun itu kan??”
“iya,
semakin menarik warnanya, semakin beracun.” Jelasku. Riziq merebut lagi, “oh,
tadi warnanya cuma cokelat. Berarti ga beracunlah. Aku kena kencing katak, ngah.
Haha.” Suasana mulai ramai, dua bocah itu mulai rebut-rebutan hp. “kamu nonton aja,
aku dulu yang ngomong.” Kata Bunga ke adeknya.
Aku
langsung teringat tujuan awalku menelpon, yaitu ngomong serius ke ayahku. Obrolan
itu selalu kubuka dengan topik santai. Maklum, ayahku beranjak tua, tak sampai
hati aku menyusahkannya secara tiba-tiba, harus ada pembuka yang menarik atau
santai. “Mereka keknya seneng banget nangkep katak. buat apa emangnya yah?”
“oh…
itu buat najor2. Ya, buat mengalihkan perhatian mereka juga,
biar ga nonton melulu. Nyari katak malam-malam kan asik juga. Jadi ya adalah hal-hal
buat diceritakan ke teman-temannya nanti. Kegiatan yang unik dan asik gitu.” Ayahku
menjawab dengan nada yang seperti masih geli menahan tawa melihat anaknya
kegirangan mencari katak.
“wah.
Bisa-bisanya.” Lalu aku melanjutkan ke bagian obrolan seriusnya. Bagian serius
ini tidak menarik untuk diceritakan. Hehe.
Ayahku
saat ini berumur 51 tahun dan masih senang-senangnya mengasuh dua bocah
superaktif itu. Hal yang menarik adalah selalu ada cara ayah untuk mengalihkan mereka
dari ‘tv melulu’ atau ‘main melulu’. Apalagi gadget, belum saatnya dan
memang belum ada rejekinya pula. Tak jarang ayah mengajak si bungsu berburu
burung, membawa mereka berdua ke warung sampe si Bunga bisa mengaudit belanjaan
ayah, atau diajak ke tempat, tempat ayah membangun atau merenovasi rumah orang.
Jadilah si bocah bermain pasir, bahkan sampai memegang kotoran kucing. Membayangkannya
selalu membuat kami tertawa. Selalu ada cerita menarik ayah ketika mengasuh
anak-anaknya yang tak ada habis-habisnya untuk diceritakan.
Beralih
ke topik selanjutnya, aku mengajak Bunga bercerita. Tak jauh-jauh, tentu
tentang sekolah. Aku tahu dia sangat bosan ditanya, “gimana PRnya? Gimana
sekolahnya?” format itu terlalu kaku yang malah membuatnya bercerita penuh
keluh kesah. “katanya kamu suka becandain gurumu?” aku sedikit memantik. Lalu dia
bercerita panjang lebar soal gurunya yang asik diajak bercanda. Parahnya, si
Bunga sampai berani jahilin atau nakut-nakutin anak gurunya itu. Ditambah lagi panggilan-panggilan
lucu yang diberikan sang guru pada setiap anak membuat mereka semakin akrab
dengan guru tersebut. Tak hanya itu, adikku si tukang protes ini juga memiliki kesempatan
protes di kelas yang katanya rasanya sang guru cukup terbuka. Sungguh kesan yang
baik.
Adikku
ini sebetulnya sudah beranjak besar. Tiba-tiba ia bercerita tentang koleksi tas
temannya hingga temannya yang sudah punya pacar. Entah benar atau tidak, paling
tidak hal-hal seperti ini sudah terekam di pikirannya, yaitu tentang koleksi
barang yang disukai dan pacaran. “menurutmu itu (pacaran) salah ga?” aku mencoba
mengajaknya diskusi.
“kalau
udah umurnya, ga salah” jawabnya.
“hmmm…
kok ga salah?” sembari bertanya hal itu, aku mencoba menerka-nerka anak kelas 4
SD sudah belajar apa saja. Pendidikan seks yang beradab, kesehatan reproduksi,
perbedaan laki-laki dan perempuan, apalagi tentang zina dan macam-macamnya. Sejauh
apa pemahamannya, ku belum tau.
“ya,
nanti, kalau dah gede laah boleh…” jawabnya.
“bukan.
Ga boleh. Kalau kamu sudah agak gede, sudah baligh namanya, itu ada larangan
antara laki-laki dan perempuan. Nanti tanya lagi emak sama ayah.” Penjelasan singkatku
ini tidak mendapat komentar darinya. Mungkin karena memang dia belum tahu sama
sekali.
Si
Bunga mengalihkan pembicaraan ke koleksi tas. “temenku tasnya banyak. Kalo
bosan, bisa beli lagi. Enak ya jadi anak guru. Aku mah, karena ngerti ayah,
jadi menahan nafsu beli-beli gituan. Sepatu pun sampe rusak baru beli.”
“tapi
kalau ga butuh kan gausah beli. Gaboleh mubadzir, nanti jadi teman….” Aku belum
selesai ngomong, dia lgsg nyeletuk, “ya enak aja gitu punya koleksi.”
“mending
punya banyak buku apa tas?” aku teringat cerita minggu lalu saat ia heran
kenapa ia membaca buku-buku selain buku sekolah, sementara temannya tidak
demikian. Untungnya anak ini mau disuruh baca buku.
“mending
banyak buku. Ya, walaupun ga semua buku aku suka bacanya. Aku suka buku yang pelajarannya
disampaikan dengan cerita-cerita.” Alhamdulillah, kali ini ia sudah mau membaca
bacaan full text setelah sebelumnya katanya suka baca kalau banyak
gambarnya.
“tapi,
ngah.” Bunga melanjutkan. “aku bingung dengan orang tua kita yang ga seneng, ga
ngasi hadiah, atau selamat waktu aku ranking kemarin. Kan aneh. Kok ga bangga? Pikirku
aku pengen bikin mereka menyesal.”
“eh.
Belajar mah buat diri sendiri. Sudah perintah Allah, berpahala, manfaatnya buat
di dunia dan di akhirat. Biar buat bekal hidup, Bunga. Emang mau dihadiahin
apa? Aku deh yang ngasi.”
“hmm…
jangan deh. Aku teringat isi buku ‘Bukan untuk Dibaca. Ada anak yang menghitung-hitung
upahnya di kertas. Ngepel 5 ribu, sampai juara kelas 25 ribu. Totalnya 80 ribu.
Lalu ibunya nulis di balik kertas itu: hamil gratis, melahirkan gratis. Sedih ya,
ngah. Lah kita dikit-dikit minta upah. Ada lagi di bab 2 nya itu tentang ayah
yang udah tua, nanyain tentang burung gereja. Pertanyaannya sampe 5 kali. Si anak
males jawab kan. Lalu ayahnya cerita bahwa waktu kecil dia nanya tentang burung
gereja sampai 25 kali dan ayahnya menjawab dengan sabar. Anaknya langsung nangis
waktu tau itu. Menyentuh ya, ngah. Bagus bukunya. Aku bisa aja bacanya dalam sehari
tuh.”
Alhamdulillah,
minat baca Bunga mulai tumbuh. Buku yang ia baca tersebut cukup tebal untuk
anak selevel Bunga. Baginya, judulnya yang out of the box justru membuat
buku itu menarik.
Sebuah
capaian yang luar biasa bagiku ketika Bunga tidak hanya minat membaca, tetapi
juga bisa menyampaikan isi bacaannya. Padahal ia berada di lingkungan yang
minim budaya baca, minim literasi. Melihat hal itu, juga melihat banyaknya stok
buku yang ku drop ke rumah membuat ibu berkeingingan menata dan memajang
buku-buku itu layaknya di perpustakaan. Sebuah awal yang patut disyukuri.
-annadi
1) panggilan untuk anak ke dua
2) memancing dengan cara dibiarkan semalaman
1) panggilan untuk anak ke dua
2) memancing dengan cara dibiarkan semalaman
Komentar
Posting Komentar