“Bu, Najib
ke mana?”
“ke desa sebelah,
tilawah buat keberangkatan haji Bu… tadi dia ga sekolah”
“loh, bu. Sudah
berapa kali seperti ini?”
“sudah
ketiga kalinya di bulan ini”.
Aku melempar
tubuhku ke Kasur, menarik napas panjang, dan berusaha menghelanya perlahan-lahan.
“oalah…
baiklah, bu. Nanti jangan bosan ngingatinnya belajar ya, Bu. Ibu udah tua tetap
harus semangat. Anaknya masih kecil-kecil. Hihi.” Kataku sedikit menggoda
ibuku.
Percakapan
via telpon itu kemudian segera kami akhiri. Aku melanjutkan berpikir yang tidak
ada habis-habisnya. Kenapa bisa meninggalkan sekolah dengan entengnya hanya
demi menjadi Qori di acara pernikahan dan majelis haji orang-orang?
Adikku yang ke
dua, Najib, saat itu adalah seorang siswa Madrasah Tsanawiyah yang berprestasi
di bidang Tilawatil Qur’an. Namanya semakin banyak dikenal setelah menjuarai
Musabaqah Tilawatil Qur’an tingkat kabupaten. Hal lain yang membuat ia semakin
disukai oleh orang-orang adalah kesopanannya kepada orang tua dan anak-able
alias mudah akrab dengan orang tua. Tak hanya itu, orang tua teman-temannya
juga menyukainya karena ia dianggap membawa pengaruh positif bagi anak-anak
mereka. Mereka bahkan mengizinkan anak mereka menginap di rumah kami. Anak-anak
tersebut juga sangat senang di rumah kami karena disambut dengan masakan
kampung ibu yang hangat dan lezat serta bantuan ayah menuruti polah dan kriya
mereka seperti membuat pistol-pistolan, mobil-mobilan, sampai bongkar pasang
sepeda. Begitulah alasan semua orang mencintai adikku yang satu itu.
Aku mulai
merasa ada yang salah dan harus mulai mengambil peran karena satu setengah tahun
kemudian Najib akan menempuh ujian akhir. Aku memutuskan untuk memberikan
perhatian secara rutin.
“Gimana di
sekolah?”
“bete. Guru pilih
kasih. Ngajarnya cepet banget. Kan aku lama ga sekolah, jadinya gabisa cepet
nangkep.”
“kenapa ga sekolah?”
“latihan
tilawah, ngisi tilawah, silat, dan ikut tabligh”.
“tabligh? Tabligh
apa?”
“tabligh
itulo kak, syiar-syiar gitu. Orang-orang dakwah ke kampung-kampung, nginep di
masjid-masjid itu. aku merasa ada kebersamaan di situ.”
“berapa lama
biasanya?”
“seminggu
sampai dua minggu.”
“kalau kamu
ikut itu, sekolahmu gimana? Lomba tilawahmu gimana? Keluarga di rumah gimana?”
“tapi kan
ini untuk dakwah, ka. Dan ini rencanaku ke depan.”
Si adek
sepertinya lupa kalau dia sedang berbicara dengan seorang aktivis dakwah kampus
yang sudah khatam membaca pola-pola dakwah.
“dek, da’i bukan
jasad yang kopong. Da’I itu orang yang berilmu. Bukan kaleng-kaleng. Seorang da’I
harus bisa menyampaikan ajaran Islam dan kaitannya dengan menyelesaikan
problematika kehidupan. Itu artinya kamu masih harus belajar. Ilmu agama bisa
digunakan untuk menyelesaikan problematika kehidupan ketika sudah melalui
pengkajian lebih dalam sehingga kamu perlu ilmu tafsir, hadis, fikih, tarikh,
dan ilmu alam. Kalau kamu ingat, guru ngaji ayah dan guru ngaji ibu itu selalu
memberi tambahan ilmu berupa sirah nabawiyah, sirah ulama, fikih, dan lain-lain
setiap selesai mengajar anak-anak desa mengaji. Lalu, kamu ingin menjadi da’I seperti
apa? Kedepannya, orang-orang butuh dai yang tidak biasa-biasa saja. Orang-orang
akan jeli dengan kapasitas keilmuan si da’i. bahkan untuk menitipkan anak
kepada guru ngaji, mereka akan memilih guru ngaji yang tersertifikasi dari Lembaga
yang terpercaya. Begitulah kedepannya, orang-orang benar-benar menilai kualitas
kita. Menurutku, saat ini kamu masih harus banyak belajar sebelum benar-benar
terjun ke lapangan.”
“tapi, sekolahku
juga ga bagus-bagus amat. Aku ga banyak dapat (ilmu) di situ. Aku hanya
merasakan guru sentiment sama aku.”
“mungkin itu
karena sekolah dan lombamu yang tidak seimbang. Sudahlah, bagaimanapun juga, berikan
kehormatan pada gurumu dan penuhi adab-adab menuntut ilmu, sekalipun kamu tetap
menjadi ‘bodoh’ di antara lainnya.”
“oke, kak. Aku
mau tidur.” Jawabnya lirih karena sepertinya lelah mendengar ceramah 3 SKS.
Sepertinya
saat itu sekre Jamaah Shalahuddin mengalami polusi suara akibat bicaraku.
“mba,
nyaring beut. Lagi marah po?”
“engga. Ngomel
aja.”
Pekan-pekan
berikutnya aku ritun menelpon keluarga di rumah. Secara bergiantian, aku menanyakan
kondisi keuangan keluarga ke ayahku, kondisi kesehatan keluarga dan semangat
belajar adik-adikku, dan tak lupa pengembangan diri dan rencana masa depan
adik-adikku.
“gimana. Jib?
Sudah menentukan mau sekolah di mana?”
“belum tau,
kak.”
“mari kita
pikirkan. Melihat nilai rapot mu kemarin, kamu sebaiknya tidak masuk SMA. Karena
SMA akan cenderung pada peningkatan akademik khusus ilmu-ilmu umum. Sepertinya
kapasitasmu lebih bagus di ilmu agama, begitu pula minat bakatmu tidak akan terakomodasi
di SMA.”
“Pondok atau
MAN IC, kak”
“ok, kita
lihat raportmu berikutnya”
Sesemester kulalui
dengan melobi kedua orang tuaku. Aku mengajak mereka memikirkan bersama gambaran
keuangan kedepannya. Kami juga memikirkan rencana pendidikan adik-adik terutama
menghadapi tahun depan, dua adik akan melanjutkan sekolah ke jenjang SMA dan perguruan
tinggi.
“kenapa
terlalu memikirkan urusan keluarga, sih? Fokus kuliah aja dulu kamu…” ayahku mulai
kesal.
“karena aku
mau bantu orang tua dan bantu mereka. Lagipula kalau aku tau kondisi ke depan, aku tau aku harus gimana.
Minimal ga sering minta uang.”
“kenapa membantu adekmu? Dia gabisa
distandarkan sesuai maumu. Setiap anak punya kemampuan dan minat bakat
masing-masing, fif.”
Aku cukup tersentak. Ya, aku lupa bahwa mereka
punya kemampuan dan minat bakatnya sendiri bahkan takdirnya sendiri. Aku hanya
perlu memotivasi dan membantu mencarikan solusi.
Ujian akhir sekolah tinggal dua bulan lagi. Belum
ada kepastian dari Najib akan melanjutkan pendidikan ke mana. Aku memutuskan
untuk semakin sering bertanya.
“jadi, mau ke mana SMA nya?”
“bingung”
“kakak nanya sekolah mulu. Kek gaada urusan
lain aja.” Celetuk si Bunga, adik ke tigaku.
“oh yaa... maaf. Tapi ini sangat penting.” Aku
mencoba menenangkan.
“Gontor, kak.” Najib menyebut nama pesantren
yang pernah kuceritakan. Pesantren itu bahkan pernah kukunjungi dan kubuat
video di facebookku. Ternyata ia meneruskan ke timelinenya dengan caption “insyaallah
sekolah di sana, aamiin”.
“oke, kita usahakan bersama ya.”
Aku kemudian berbicara dengan kedua orang
tuaku lagi terkait hal ini. “kita usahakan, kita lihat nanti. Kita upayakan
sejauh yang kita mampu.” Jawaban ayah menunjukkan persetujuan dengan syarat
sesuai batas kemampuannya.
Tibalah saatnya kakakku dan adik pertamaku, Puti,
akan ke Jawa. Najib awalnya tidak mau ikut, tapi akhirnya secara mendadak
memutuskan ikut ke Jawa. Tentu saja alamat yang ia tuju adalah alamatku, di
Jogja.
Selama di jogja, kakakku tinggal di tempat
kerjanya. Sedangkan Najib beberapa hari di asramaku di gedung anak laki-laki,
kemudian tinggal di Banjarnegara. Sementara puti tinggal di asrama ku sembari
belajar untuk menyiapkan UTBK.
Setelah seminggu di Banjarnegara, keluarga
Banjarnegara kemudian menemukan tempat les persiapan ujian Gontor. Bimago Banjarnegara
namanya. Tanteku menceritakan semua hal tentang kondisi kami, kemudian najib
dites dan diterima tanpa dipungut biaya. Tentu saja itu adalah sebuah kabar
gembira yang sesegera mungkin kuceritakan ke orang tuaku.
Langkah selanjutnya adalah aku memastikan biaya
pendaftaran Gontor. Biayanya cukup tinggi bagi keluarga seperti kami. Saat itu ayah
hanya memegang uang separuh jumah biaya pendaftaran tersebut, yang itupun
termasuk untuk keseharian keluarga. Dua hari kemudian, ayah mengirimkan semua
uang itu kepadaku untuk biaya pendaftaran Gontor yang masih sebulan lagi. Aku berusaha
meyakinkan ayahku bahwa akan ada jalan untuk niat baik ini.
“kenapa dikirim semua, yah?”
“nda apa-apa. Nanti akan ada rejeki lagi, kok.”
Di satu sisi, pengorbanan ini seperti untuk
membalas pengorbanan si adik yang memasangkan listrik di rumah menggunakan
hasil lombanya. Uang hadiah juara pertama MTQ tingkat provinsi seharusnya lebih
dari cukup untuk mendaftar sekolah, tapi ia gunakan untuk keperluan keluarga. Di
sini, pengorbanannya dan kedzaliman kami terasa cukup tipis bedanya. Tak hanya
itu, bonus Umrah yang ia terima juga ia berikan ke Ibu. Hal ini membuat kami
semakin mantap untuk memperjuangkan masa depan pendidikannya.
“yah, bukankah kita sudah lama berjuang dalam
pendidikan seperti ini? Ayah ridho, kan?”
“mau bagaimana lagi, ini yang kalian inginkan”
“Ibu ridho?” tanyaku pada ibu.
“aku ridho, aku yakin ini perjuangan yang
mulia, pasti ada pertolongan Allah. Aku sudah tidak ingin kesenangan apa-apa. Cukup
anak yang ga buta dunia, ada pegangan hidup terutama ilmu agamanya.”
“baik, bu, yah. Insyaallah aku cari-cari info
tambahan juga agar kita gak kelimpungan.”
Semakin hari, semakin mendekati hari pendaftaran.
Kabar gembira selalu datang dari Najib. “kak, nilai imla’ ku paling tinggi lo
tadi ga pernah di bawah tujuh. Bagus-bagus terus. Padahal ini bagian tersulit
lo. Aku jga ga pinter bahasa Arab. Sepertinya ini karena aku sering tilawah
membuatku akrab dengan kalimat-kalimat berbahasa arab.”
“Alhamdulillah. Kalau pelajaran lain?’
“matematika standar SD kok, kak. Lain-lain aku
bisa mengikuti. Bahkan di sini diajarin nyuci segala. Ustadz-Ustadzahnya juga
asik. Semuda kamu lo, kak.”
“syukurlah. Kencangkan niat dan ibadahnya.”
Ada kabar lain di samping kabar baik itu. Pendaftaran
tinggal menghitung hari. Aku terus meneror orang tuaku.
“afif, uang kita sisa sangat sedikit. Anak yang
harus dibiayi tidak hanya dia sendiri. Lagipula dengan nilai ujian segitu, apa
bisa?” ayah mulai bicara secara realistis.
“ayah, ga pake nilai ujian. Nilai lesnya
bagus-bagus terus, kok.”
“sudahlah, kukabari lagi mendekati
keberangkatan nanti.” Kata ayah menutup pembicaraan kami.
Aku berusaha berdiskusi dengan kakakku. “kak,
ada uang yang bisa dipinjam?”
“Buat najib? Gaada. Lagian apa dia bisa lulus
dengan kemampuan seperti itu? Okelah ga pake nlai ujian, tapi kan kita sudah
meilhat kemampuannya, dia ga mampu.”
“kak, nilai lesnya bagus-bagus, lo.”
“ah, sudahlah, ralistis aja. Masih ada anak-anak
lain yang harus diperjuangkan. Minggu depan dia pulang ke kampung saja.”
Tubuhku yang lelah, kini menjadi lemas. Mataku
yang perih karena scoring penelitian, kini menjadi berair. Kepalaku semakin
berdenyut. Kubuka hape, scrolling tak tentu arah, kuabaikan chat heboh
di organisasiku. Akhirnya kutemukan satu kontak, ‘Aunty’, panggilan untuk
tanteku di Banjarnegara yang membantu selama proses ini. Aku menemukan sebuah
solusi.
“Ayah, izinkan aku meminjam uang ke Aunty dan
Ning Adi. Nanti kubayar ketika punya uang. Insyaallah tiga bulan lagi.”
“buat apa? Najib pulang aja.”
“lah, yah. Kasian. Sudah sejauh itu. Dia bahkan
menarget bisa masuk Gontor Pusat, lo.”
“tapi kedepannya pasti akan ribet lagi, fif.”
“aku yang tanggung jawab. Aunty support dia,
kok. Ayah jangan nelpon dia buat nyuruh pulang ya. Kasian kondisi mentalnya nanti.”
“ya setelah ku dengar dari kakakmu tadi,
memang sebaiknya dia pulang.”
“ayah percaya sama aku?” sebuah pertanyaan
yang seperti todongan pisau.
“ya. Aku percaya.”
Tak lama kemudian, ada panggilan masuk dari
Najib.
“kak, aku disuruh pulang.” Katanya bersuara lemas.
“kamu mau pulang?”
“engga, sekolah sini aja walaupun ga gontor.”
“ok. Terus aja belajar. Aku cari plan lainnya.”
Kemudian aku menghubungi salah satu kating
organsisasiku dan menceritakan hal ini. Dia sangat mendukung. Aku diberinya
banyak kontak pemilik pesantren yang beberapa bahkan alumni Jamaah Shalahuddin.
Bantuan ini sangat melegakan tegangan di kepalaku selama berhari-hari ini.
Aku masih optimis dengan rencana awal sehingga
kontak-kontak itu tak kunjung kuhubungi. Sampai pada suatu hari keluarga
bajarnegara menyampaikan berita bahwa ada bantuan biaya pendaftaran dari
asatidz Bimago. Alhamdulillah ‘alaa ni’matihii. Mereka juga meminta kami semua
datang ke sana untuk mendiskusikan rencana ini. Keluarga Banjarnegara memang
bukan keluarga senasab kami, mereka adalah keluarga suami Aunty ku. Tapi kebaikan
itu tidak tersekat nasab. Maasyaallah.
Kami merayakan Idul fitri bersama keluarga
Banjarnegara, kecuali kakakku yang prefer lebaran di Jogja. Di sana, aku
mulai diskusi langsung dengan adik dan keluarga di sana.
“Hape ini bagus, kak. Aku ga bakal make lagi. Dijual
ajalah. Lumayan nambahin uang.” Ucap Najib secara tiba-tiba.
“OK, nanti kita hitung-hitung lagi.”
Pada malam harinya aku berdiskusi bersama
keluarga Banjarnegara. Diskusi itu menghasilkan solusi keuangan dan solusi
keberangkatan pendaftaran. Clear. Semua urusan selesai menyisakan utang
piutang.
Pasca lebaran, Najib berangkat ke Ponorogo bersama Om dan
rombongan Bimago Banjarnegara. Setelah urusan pendaftaran selesai, calon santri
ditinggal bersama konsulat/asatidznya. Aku memantau perkembangan tes melalui
grup wali santri Bimago.
Hari-hari mendekati pengumuman penerimaan
santri. Sebuah masalah terjadi lagi yaitu keharusan kehadiran wali di hari
pengumuman. Aku, kakakku, Om, dan Aunty tidak bisa datang. Akhirnya aku
memberanikan diri mengirim Puti sebagai wali Najib. Puti yang bahkan tidak pernah
pergi jauh sendiri, memberanikan diri menerima amanah itu.
Aku teringat memiliki teman lomba di UNIDA
Gontor. Aku menghubunginya dan benar-benar menitipkan Puti padanya.
Alhamdulillah, ia menerimanya bahkan akan memberi buku dan lain-lain untuk
Najib.
Perginya Puti membuatku was-was. Jangan-jangan
ini awal aku tidak amanah terhadap keluargaku. Berulang kali aku menelponnya.
“di sini asik, kak. Aku ga takut, orang-orang
udah kek pengungsi, rame beut di teras-teras. Ga takut ilang jga. Kalau nama Najib
dipanggil aku kasi tau yaa.”
Aku semakin deg-degan menanti keputusan akan
di mana adikku kelak. Tak lama kemudian Puti mengabari, “Gontor 1, kak.”
“Alhamdulillah, nanti telpon lagi”
Ia kemudian kembali ke Jogja bersama rombongan
asatidz Bimago Banjarnegara. Setelah berjaga semalaman, akhirnya ia sampai
pukul 5 pagi.
“kak, Najib baik juga ya. Malah dia yang khawatir
sama aku. Dia nanya-naya, ‘kak, udah makan? Pulangnya gimana?’’’
Hihi. Puti, puti.
يَا
مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ إِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ تَنْفُذُوا مِنْ أَقْطَارِ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ فَانْفُذُوا ۚ لَا تَنْفُذُونَ إِلَّا بِسُلْطَانٍ. فَبِأَيِّ
آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
Hai bangsa
jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan
bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan (dari Allah). Maka nikmat Tuhan
kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus