Langsung ke konten utama

WAKAF UNTUK MEMAJUKAN PENDIDIKAN ISLAM



Pendahuluan
Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi ilmu. Islam memiliki konsep pendidikan sendiri sedari seorang muslim lahir hingga meninggal dunia. Pada sejarahnya, Islam adalah peletak dasar kberadaan lembaga pendidikan yaitu dari berdirinya Perpustakaan Baitul Hikmah sebagai pusat diskusi keilmuwan dunia di masa Dinasty Abbasiyah dan Al-Azhar Cairo sebagai universitas tertua di dunia.
Namun, pasca penyerangan tentara Mongol yang menghancurkan Baitul Hikmah dan dilanjutkan dengan runtuhnya khilafah Turki Utsmani membuat pendidikan Islam redup terkalahkan oleh sistem pendidikan sekuler. Butuh waktu yang lama untuk mengejar ketertinggalan ini. Hal ini dapat dilihat dari jumlah lembaga pendidikan islam yang lebih sedikit dan kurang diminati dibandingkan dengan pendidikan umum dan Kristen. Salah satu penyebabnya adalah sokongan dana untuk pendidikan Islam yang belum cukup memadai. Sementara 20% APBN untuk pendidikan Indonesia belum mencukupi lantaran realisasinya yang belum baik dan besarnya potensi korupsi di negeri ini.
Permasalahan ekonomi dalam pendidikan Islam dapat diatasi dengan optimalisasi salah satu instrument ekonomi Islam, yaitu wakaf. Sebagai contoh wakaf masyarakat sehingga berdiri Pondok Pesantren Darussalam Gontor. Dalam implementasinya diperlukan pemahaman tentang wakaf dan pengelolaan wakaf untuk menyokong pendidikan.
Wakaf
Pengertian istilah wakaf menurut fatwa MUI adalah penanahanan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa hilang benda atau pokoknya dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, menghibahkan, atau mewariskannya), untuk digunakan (hasilnya) pada sesuatu yang diperbolehkan (tidak haram). Wakaf dibedakan berdasarakan tujuan, waktu, dan penggunaannya. Wakaf berdasarkan tujuan meliputi wakaf sosial, wakaf keluarga, dan wakaf gabungan (umum dan keluarga). Berdasarkan waktunya wakaf dibagi menjadi wakaf abadi dan wakaf sementara. Wakaf berdasarkan penggunaannya dibagi menjadi wakaf langsung dan wakaf produktif (Qahaf, 2005).
Menurut para ulama rukun wakaf meliputi waqif, mauquf bih, mauquf alaih, dan shighat. Waqif atau pihak yang berwakaf harus seorang yang merdeka, berakal sehat, baligh, dan pemilik sempurna harta yang diwakafkan. Mauquf bih atau barang yang diwakafkan harus bernilai, jelas bentuknya, hak smepurna dari waqif, dan merupakan benda tidak bergerak. Mauquf alaih atau peruntukan wakaf harus dalam batas syariat Islam sehingga waqif harus menegaskan tujuan wakafnya. Shighat atau ikrar wakaf harus dinyatakan secara tegas dan cukup dengan ijab saja (Departemen Agama, 2007).
Tinjauan Sejarah: Peran Wakaf dalam Pendidikan
Menurut pendapat mayoritas ulama bahwa yang pertama kali melakukan wakaf adalah Rasulullah SAW yaitu mewakafkan tanah beliau untuk dibangun masjid. Kemudian disusul oleh para sahabat. Pada masa itu sahabat dan thabi’-thabi’in, dampak wakaf sudah terasa di kalangan para pelajar karena baik pelajar dan pengajar tidak perlu memikirkan biaya pendidikan. Pada dasarnya waqif mewakafkan hartanya untuk mendekatkan diri pada Allah, namun pada implementasiya wakaf memberi banyak manfaat bagi masyarakat sosial.
Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa Dinasty Abbasiyah sehingga menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, perpustakaan, meggaji staf, guru, serta beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Hal ini dipelopori oleh sosok Khalifah yang mencintai Ilmu yaitu Harun Ar-Rasyid dan Al-Ma’mun sehingga menginspirasi masyarakat menjadi masyarakat yang cinta ilmu dan menimbulkan kebutuhan untuk mengembangkan pendidikan dengan mendirikan institusi-institusi untuk mengajarkan dan mengembangkan ilmu. Sehingga berdiri lembaga-lembaga keilmuan seperti kegiatan penerjemahan yang didirikan oleh Harun Ar-Rasyid, dilanjutkan dengan berdirinya Baitul Hikmah pada masa Al-Ma’mun. Pada masa Khalifah Al-Ma’mun kemudian membentuk badan wakaf sehingga muncul wakaf-wakaf yang diperuntukkan bagi orang-orang yang fokus dalam kesibukan ilmiah. Baginya pendidikan bukan hanya urusan Negara dan penguasa tetapi membutuhkan kesadaran masyarakat untuk bersama Negara menanggung biaya pelaksanaan pendidikan. Pendapat ini meluas hingga pada penerus kepemimpinannnya dan para pembesar Negara sehingga badan wakaf yang permanen dipandang sebagai suatu keharusan untuk perihal keilmuan (Mutmainah, 2016).
Nizham Al-Mulk dari Dinasty Saljuk juga melakukan hal yang sama. Ia mendirikan Madrasah Nizhamiyah yang pembiayaannya disubsidi Negara, penguasa, dan wakaf masyarakat. Nizham Al-Mulk juga menyediakan wakaf untuk membiayai seorang mudarris, imam, dan juga mahasiswa yang menerima beasiswa dan fasilitas asrama (Mutmainah, 2016).
Lembaga-lembaga pendidikan yang pembiayaannya dari wakaf pada masa Islam klasik sangat banyak seperti Badr Ibnu Hasanawih Al-Kurdi, seorang bangsawan kaya yang menjadi gubernur, mendirikan 3000 masjid dengan akademi di dalamnya (Mutmainah, 2016). Lembaga pendidikan Islam yang dibiayai dari wakaf yang masih berdiri sejak masa klasik hingga sekarang adalah Univeristas Al-Azhar Kairo. Universitas yang berdiri pada masa Khalifah Al-Aziz di Dinasty Fatimiyag tahun 970M ini mampu memberikan beasiswa pendidikan bagi banyak orang dari seluruh penjuru dunia. Pada 1986, misalnya, tercatat dana tunai sebesar 147,32 juta pound Mesir (setara Rp 110,6 miliar kini) diperuntukkan bagi pembiayaan 55 fakultas, termasuk 6.154 orang staf akademiknya (Rizqa, 2017). Hingga sekarang jumlah ini selalu bertambah.
Pengelolaan dan Potensi Wakaf di Indonesia.
Masyarakat Indonesia sudah tidak asing dengan wakaf. Masa kolonial Belanda merupakan momentum kegiatan wakaf. Pada masa itu, perkembangan wakaf sudah sampai untuk perkembangan organisasi keagamaan, sekolah, madrasah, pondok pesantren, masjid, dan lain-lain Namun, wakaf sempat tidak mengalami perkembangan menyebabkan wakaf terbatas untuk kegiatan keagamaan saja dan kurang bermanfaat bagi masyarakat banyak.
Stagnansi perkembangan wakaf di Indonesia mulai mengalami dinamisasi pada tahun 2001 melalui dikenalkannya konsep wakaf tunai oleh praktisi ekonomi Islam. Kemudian pada tahun 2002, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf uang (waqaf al-nuqud). Kemudian ditetapkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wkaaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang waka memberikan pijakan hukum yang pasti, kepercayaan publik, serta perlindungan aset wakaf. Pengesahan undang-undang ini merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, meningkatkan peran wakaf tidak hanya sebagai pranata keagamaan saja tapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang potensial untuk memajukan kesejahteraan umum. Selain itu, wakaf juga tidak terbatas pada harta tidak bergerak namun juga pada harta bergerak seperti uang, emas, surat mneyurat, hak sewa, logam, dan sebagainya (Hazami, 2016).
Adanya peraturan peundang-undangan dan fatwa MUI tersebut, sebagai Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, wakaf berpotensi besar untuk membangun perekonomian umat.  Mustafa E. Nasution (2006) memperkirakan jumlah muslim dermawan 10 juta jiwa dengan rata-rata penghasilan Rp 500.000 hingga Rp 1.000.000, paling tidak akan terkumpul dana wakaf 3 triliun rupiah dengan rincian asumtif seperti perhitungan tabel berikut.
Problem Pengelolaan Wakaf di Indonesia beserta Solusi yang Ditawarkan
Secara umum wakaf di Indonesia belum bisa mensubsidi pendidikan dan belum terasa bagi masyarakat sosial walaupun telah mendapat keuntungan yang besar.  Menurut Uswatun Hasanah dala Pidato Pengukuhan Guru Besar Hukum Islam di Universitas Indonesia pada tanggal 6 April 2009 bahwa problem pengelolaan wakaf yang terjadi di Indonesia antara lain karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang hukum wakaf, kurangnya profesionalitas dan sifat amanah dalam pengelolaan harta wakaf, dan nilai kebermanfaatan harta wakaf (missal tanah yang sempit). Terdapat beberapa langkah yang perlu dilakukan agar wakaf dapat menjadi solusi bagi permasalahan pendidikan di Indonesia yaitu menumbuhkan kesadaran beagama dan berwakaf khususnya pada penguasa dan dermawan kaya, membentuk lembaga pengelola wakaf yang independen dari intervensi pemerintah, memproduktifkan tanah-tanah wakaf dan mensosialisasikan wakaf uang sebagai modal wakaf produktif, dan memperbanyak wakaf produktif (Furqon, 2012).
Pelaksanaan Wakaf untuk Pendidikan: Wakaf Produktif Pesantren Modern Darussalam Gontor
Di Indonesia telah berdiri beberapa lembaga pendidikan yang pelaksanaannya menggunakan harta wakaf, diantaranya adalah Pondok Modern Gontor, Yayasan Pendidikan Al-Khairat, Universitas Islam Indonesia, dan Universitas Sultan Agung. Lembaga tersebut mampu membiayai operasional pendidikan besera sarana dan prasarana menggunakan harta wakaf. Walaupun demikian, lembaga tersebut belum mampu memberikan pendidikan gratis bagi pelajarnya. Salah satu lembaga tersebut akan diulas lebih dalam yaitu pelaksanaan wakaf produktif di Pondok Pesantren Darussalam Gontor.
Wakaf Produktif adalah wakaf yang dalam pelaksanaannya terdapat hasil profit yang akan dicapai misalnya pertanian, saham, real estate, dan perkebunan. Kebalikannya adalah wakaf konsumtif yaitu wakaf yang pelaksanaannya murni untuk menggunakan harta wakaf bukan untuk mendaur harta wakaf seperti sarana ibadah dan pendidikan (Hilmiyah et al, 2013 dan Hazami, 2016). Untuk memproduktifkan wakaf, maka penerima wakaf harus kreatif dalam menggunakan harta wakaf dalam kegiatan produksi.
Di Pondok Modern Darussalam Gontor terdapat beberapa usaha produktif dalam penggunaan harta wakaf. Tanah wakaf yang dimiliki PMDG disewakan secara al-ijarah, yaitu petani mengajukan permohonan dan memenuhi persyaratan dari Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok Modern lalu disetujui dan petani wajib membayar sewa sesuai waktu dan jumlah yang disepakati. Sedangkan untuk harta wakaf dalam bentuk lain digunakan untuk modal usaha secara mudharabah dan musyarakah. Diketahui hingga tahun 2012 PMDG telah memiliki 31 unit usaha di antaranya adalah percetakan, air minum, roti, toko besi, toko buku, apotek, pabrik tekstil, pabrik teh, dan lain-lain (Hilmiyah et at, 2013).
Keuntungan dari kegiatan produksi tersebut digunakan untuk subsidi pendidikan dan pengajaran pelajar maupun mahasiswa yang berstatus guru. Hasil tersebut juga digunakan unutuk memenuhi kebutuhan pengembangan pendidikan, sarana dan prasarana, serta pembukaan pondok-pondok baru di berbagai daerah. Pada tahun 2009 tercatat sebesar sekitar 100 miliar rupiah hasil wakaf produktif untuk perbaikan pembangunan dan pada tahun 2012  mencapai Rp 774.681.541.Selain itu program regenerasi berupa lanjutan pendidikan ke S1, S2, dan S3 juga sebagian dibiayai dengan hasil wakaf produktif dari hasil usaha. Penggunaan lainnya adalah untuk membeli tanah pertanian yang kemudian digunakan untuk pertanian dan usaha secara mukharabah. Pembagian hasil dilakukan setelah modal benih dan perawatan dilunasi dengan porsi 60% untuk PMDG dan 40% untuk petani. PMDG juga mengkhususkan 20% hasil usaha dikelola sendiri oleh guru untuk keperluan hidup mereka. Hasil-hasil wakaf juga digunakan untuk membiayai kegiatan lembaga-lembaga yang berada di bawah pembiayaan langsung yayasan, seperti IKPM, Islamic Centre, ISID, PLMPM, dan mahkamah-mahkamah Badan Wakaf, serta perbaikan bangunan rusak. Secara tidak langsung, PMDG membantu perekonomian masyarakat sekitar dengan semakin terbukanya lapangan pekerjaan (Hilmiyah et al, 2013).
Kesimpulan
Wakaf memiliki banyak manfaat dalam membangun umat. Wakaf dapat menyokong ekonomi pendidikan Islam dengan konsep wakaf produktif sekaligus untuk pengembangan usaha dan menciptakan kesempatan belajar lebih serta lapangan pekerjaan yang lebih banyak.
Referensi
Departemen Agama. 2007. Paradigma Baru Wakaf di Indonesia. Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI. P. 49-50
Furqon, A. Wakaf sebagai Solusi Permasalahan-Permasalahan Dunia Pendidikan di Indonesia. Jurnal Hukum Islam. Vol. 10 (1): 35-53
Hazami, B. 2016. Peran dan Aplikasi Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat di Indonesia. analisis. Vol. 16(1).
Hilmiyah, N., Hakimi, M., Ahmad, S., dan Ramzi, M. 2013. Wakaf Produktif dalam Pembangunan Pendidikan: Kajian di Pondok Modern Darussalam Gontor, Indonesia. Prosiding Perkem VIII. Vol. 3: 1302-1314.
Mutmainah. 2017. Wakaf dan Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia. Journal of Islamic Education Studies. Vol.1 (1): 209-225.
Nasution, M., E. et al. 2006. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Qahaf, M. 2005. Mananjemen Wakaf Produktif. Penerbit Khalifa. Jakarta. P. 161.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diary: Kesepian

 Hello, welcome back to my blog. It has been so long time no post. My bad.  Setelah kosong melompong dan hampir dihuni dedemit, aku memutuskan untuk mengisi lagi blog ini. Bukan tanpa alasan. Sebetulnya aku sudah memiliki akun di media lain untuk menulis yg agak serius dan rencananya blog ini akan ku isi dengan curahan hatiku saja. Aku harus melakukan ini agar kepalaku tidak berisik dan hatiku tidak tercabik oleh kesendirian yang kian menyerang mentalku. Ya, aku adalah manusia ekstrovert yang harus banget mengekspresikan jatah 5000 kata perharinya. Jika tidak, bermacam-macam perasaan buruk menghantuiku, rasa kesepian, rasa diasingkan, rasa tak laku karena belum nikah. Eh.  Aku masih ingat saat pertama merasa kesepian. Ketika pindah ke Jatinangor, aku tinggal di sebuah kos yang individualis dan tidak ada teman yang ku kenal di sini. Aku semakin merasa asing lantaran hampir tak ada waktu untuk aku bertemu dengan tetangga kamarku. Pagi hari tentu kami sibuk beraktivitas, malam hari aku su

Si Corona dan Cobaan Ketamakan

Si Corona adalah sebutanku untuk menyebut virus pandemi yang saat ini sedang ‘naik daun’. Nama resminya adalah SARS-Cov-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2). Penyakitnya disebut Covid 19 (Corona Virus Disease 2019). Sampai di sini perkenalan diri Si Corona. Aku tidak mau menyebutkan gejalanya. Percuma. Di televisi, kulihat banyak sekali orang yang baru percaya bahaya Si Corona setelah mengalami ‘serangannya’ secara langsung. Terutama pemerintah pusat yang masih haha hihi ketika Wuhan sedang panik-paniknya. Bayangkan, tiket pesawat domestik tujuan daerah pariwisata diskon 50%. Saat Si Corona ini tiba di bumi pertiwi, mereka masih main politik tipu-tipu. Hmm, kurang menyebalkan apa mereka?!             Bagaimanapun juga, aku tidak ingin terus-terusan marah. Suara akar rumput, kaum rebahan pula, tidak akan berpengaruh apa-apa. Sebagai bagian dari kaum rebahan -mahasiswa tingkat akhir yang tinggal berkutat dengan penelitian, dilanjut rebahan- memang sebaiknya aku

Resensi Generasi Strawberry

Judul: Strawberry Generation Penulis: Prof. Rhenald Kasali, Ph.D Penerbit: Mizan Tahun Terbit: 2017 Jumlah Halaman: 279 halaman Resensi oleh: Afif Yati Prof. Rhenald Kasali menyebut generasi saat ini sebagai generasi strawberry. Diibaratkan strawberry, generasi saat ini terlihat bagus tapi rapuh. Bahkan digosok dengan sikat gigi saja ia bisa rusak. Padahal sikat gigi terasa lembut bagi gigi kita. Singkatnya, generasi ini cenderung lemah, malas, minim pengalaman, tidak pandai mengambil keputusan, mudah terluka hatinya, sulit keluar dari zona nyaman, dan bermental passenger. Kenapa generasi ini menjadi seperti strawberry? Penulis menyebutkan setidaknya ada tiga kesalahan dalam pembentukan generasi ini yaitu kesalahan dalam pengasuhan orang tua, kesalahan dalam pendidikan, dan kondisi lingkungan yang sudah berubah. Sebagian besar masyarakat kita memiliki kecukupan finansial untuk memenuhi segala kebutuhan anaknya. Anak-anak itu kemudian akan hidup dalam kemudahan dan