Langsung ke konten utama

Pemimpin Ialah yang Peduli pada Umat



Tulisan ini adalah ringkasan hasil diskusi penulis beserta teman-temannya dengan Ustadz Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M. A., M. Phil di Universitas Darussalam Gontor 15 Januari 2019. Diskusi ini adalah sebuah kesempatan yang sangat berharga. Bagaimana tidak, seorang tokoh besar ini masih semangat dengan rencana-rencana besar beliau untuk meningkatkan kapasitas pemuda muslim.
Sekilas tentang Gontor. Ayah beliau, KH Imam Zarkasy adalah staf kemenag di bidang pengajaran. Pada masa itu beliau mengusulkan agar konsep pendidikan Islam masuk ke sekolah-sekolah. Usulan ini ditolak. Sehingga beliau memutuskan keluar dari kemenag dan menggarap gagasan beliau tersebut. Singkat cerita, pada tahun 1926 beliau dan 9 orang lainnya mendirikan Gontor dengan kurikulum yang berbeda dari pendidikan yang ada masa itu.  Alhasil, lembaga pendidikan ini tidak diakui hingga tahun 2000.
Tidak patah sayap. Lulusan Gontor bukan orang main-main, meskipun ia tidak diakui. Tidak sedikit yang melanjutkan ke Timur Tengah. Fakta menarik, mereka berani mendaftar di Perguruan Tinggi di dalam negeri ‘tanpa ijazah’, yaitu di IAIN bahkan datang menyerahkan diri ‘tanpa ijazah’ di ITB dan lulus. Ustadz Hamid menegaskan bahwa pendidikan tidak selalu kognitif karena pendidikan di luar kelaslah yang lebih besar membentuk diri. Hal ini yang dilakukan di lingkungan pondok pesantren.
Perlu diketahui bahwa pada mula berdiri, Gontor adalah wakaf umat muslim. Dalam wakaf tersebut diamanahkan bahwa Gontor harus memiliki universitas yang Alhamdulillah kini sudah berdiri, Universitas Darussalam Gontor. Ustadz Hamid juga menyadarkan kami tentang dahsyatnya wakaf. Bagaimana tidak, wakaf juga yang membangun Al-Azhar Cairo. Saat ini, Universitas Islam tertua di dunia itu membiayai sekitar 5000 mahasiswa Indonesia. 5000 mahasiswa Indonesia, belum lagi mahasiswa Negara lain yang juga dibiayainya. Sehingga beliau meyakini dengan wakaf umat muslim bisa bangkit.
Sekarang mari membicarakan perihal umat. Umat muslim merupakan umat terbanyak di dunia. Diperkirakan 90% masyarakat dunia dalam range miskin, 10% adalah kaya dengan kesenjangan yang signifikan. Diperkirakan 60% muslim tidak shalat. Artinya umat muslim lemah pada urusan dunia dan lemah pada urusan akhirat juga. Kenapa? Kita lengah karena faktor sosial, politik, dan pendidikan. Muslim dilemahkan dari luar dan dalam diri umat muslim sendiri.
Mengukur kualitas umat muslim lalu mengklasifikasinya dapat dilakukan dengan konsep iman. Iman ialah meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan melakukan dengan perbuatan. Klasifikasi ini bukan untuk membuat gap atau semisalnya, tapi untuk melihat bagaimana kekuatan umat ini. Sehingga diperoleh 4 klasifikasi muslim.
1.        Seorang muslim yang mengerti Islam, menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim, dan peduli terhadap umat muslim. Diperkirakan masyarakat seperti ini hanya sekitar 10%.

2.    Seorang muslim yang mengerti Islam, menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim, tapi tidak peduli terhadap umat muslim.
3.    Seorang muslim yang sedikit mengerti Islam, menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim.
4.    Seorang muslim yang tidak mengerti Islam, tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim, dan tidak peduli bahkan memusuhi islam.

Persentase tiap kelas di atas tentu berubah-ubah. Dengan mengamati persentase tersebut, kita dapat menentukan kekuatan umat muslim. Sederhananya, semakin banyak muslim yang peduli pada umat ini, maka kebangkitan muslim semakin dekat. Contohnya adalah kedahsyatan wakaf sebagaimana fakta di atas.
Sejauh penjelasan ini, dapat kita simpulkan apa yang sebenarnya dibutuhkan umat ini? yang dibutuhkan umat ini adalah kepedulian. Dibutuhkan sosok-sosok yang peduli pada umat. Beliau menegaskan bahwa pemimpin umat muslim seharusnya yang memahami islam, menjalankan kewajiban sebagai muslim, dan peduli terhadap umat islam.
Tidak cukup hanya pada semangat kepedulian, tapi juga harus dilandasi dengan keilmuan yang mapan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud dalam bukunya Budaya Ilmu dalam Satu Penjelasan bahwa semua sektor harus dikuatkan dengan ilmu. Runtuhnya suatu peradaban karena kemunduran ilmu. Sehingga dalam hal ini dibutuhkan peran intelektual muslim dalam membangun umat.
Pertama, secara inidividu, seorang intelektual muslim harus komitmen dalam menjalankan syari’at dan dalam menjalan Islam yang secara luas bermakna ilmu. Karena konsep syari’at dapat dikembangkan dalam semua bidang ilmu. “Islam is Knowledge, Knowledge is Islam”
Kedua, seorang intelektual msulim mampu memposisikan diri ketika menjadi bagian dari masyarakat dan masyarakat adalah bagian dari peradaban. Artinya, seorang intelektual muslim adalah agen peradaban. Seorang muslim harus memandang kehidupan ini dalam arti yang lebih luas. Arah ia memandang kehidupan ini didasari oleh pengetahuannya sebagai seorang intelektual.
Ketiga, seorang intelektual muslim mampu mengaitkan antara ilmu dengan iman sehingga melahirkan akhlak yang mulia. Akhlak yang mulia ini akan melahirkan sikap bijaksana (hikmah/wise). Kebijaksanaan pula modal seorang pemimpin.
Jika disarikan, sosok pemimpin muslim adalah sosok yang shalih. Hematnya, shalih adalah berbuat sesuai keimanan dan syari’at. Pada penjelasannya, shalih dibagi dalam tiga tingkat klasifikasi.
1.    Salih secara individu yaitu berbuat sesuai keimanan dan syari’at
2.    Salih secara sosial yaitu berarti memperbaiki, membangun umat. Sebagaimana makna shalih dalam QS. Al-A’raf ayat 56
3.    Salih dalam berpikir. Kealihan ini didasari pada sedalam apa Islamic worldview yang dimiliki seseorang. Sehingga dalam memandang dan mengambil keputusan terhadap hal-hal baru masih dalam koridor islam, jelas keberpihakannya pada Islam, dan mempedulikan umat Islam.
Namun, penjelasan tersebut bukan berarti membolehkan kita beranggapan bahwa pemimpin islam adalah ulama. Ulama tak perlu memegang tampuk kepemimpinan untuk menajadikan dirinya pemimpin. Karena Allah telah menjanjikan orang yang beramal salih menjadi pemimpin. Sekali lagi. Bukan berarti menduduki kursi kepemimpinan. Bukan pula dengan menajdi pemimpin menaikkan derajat seseorang. Karena Allah telah menaikkan derajat orang yang beriman dan bberilmu beberapa derajat. Tapi pemimpin umat muslim adalah ia yang tinggi kualitas iman dan kesalihannya. Sosok salih yang berpikir salih, memiliki pemahaman besar, luas, dan terus ditingkatkan kapasitas dirinya.
Sudah semestinya seorang muslim memiliki kapasitas ilmu yang besar. Tak jarang umat ini disodori pertanyaan-pertanyaan filosofis seputar islam yang tak jarang juga pada ranah akidah. Hal ini cukup berat bagi seorang non-islamic studies. Tapi ada cara bijak menghadapinya yaitu ketika suatu pertanyaan tak dapat dijawab, maka catatlah, ingatlah, dan berusaha mencari jawabannya. Dengan cara ini kita bisa menambah pengetahuan dan menyebarkannya pada orang lain. Cara inilah yang dilakukan oleh Buya Hamka, yaitu belajar dari pertanyaan-pertanyaan audiensnya. Rezeki ilmu adalah ketika kita bertemu dengan orang atau peristiwa yang menjawab pertanyaan-pertanyaan kita.
Akhir kata, penulis mengatakan teruslah belajar. Teruslah meningkatkan kualitas diri. Temukan, aplikasikan, dan evaluasi.
Sincerely
An-Nadi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diary: Kesepian

 Hello, welcome back to my blog. It has been so long time no post. My bad.  Setelah kosong melompong dan hampir dihuni dedemit, aku memutuskan untuk mengisi lagi blog ini. Bukan tanpa alasan. Sebetulnya aku sudah memiliki akun di media lain untuk menulis yg agak serius dan rencananya blog ini akan ku isi dengan curahan hatiku saja. Aku harus melakukan ini agar kepalaku tidak berisik dan hatiku tidak tercabik oleh kesendirian yang kian menyerang mentalku. Ya, aku adalah manusia ekstrovert yang harus banget mengekspresikan jatah 5000 kata perharinya. Jika tidak, bermacam-macam perasaan buruk menghantuiku, rasa kesepian, rasa diasingkan, rasa tak laku karena belum nikah. Eh.  Aku masih ingat saat pertama merasa kesepian. Ketika pindah ke Jatinangor, aku tinggal di sebuah kos yang individualis dan tidak ada teman yang ku kenal di sini. Aku semakin merasa asing lantaran hampir tak ada waktu untuk aku bertemu dengan tetangga kamarku. Pagi hari tentu kami sibuk beraktivitas, malam hari aku su

Si Corona dan Cobaan Ketamakan

Si Corona adalah sebutanku untuk menyebut virus pandemi yang saat ini sedang ‘naik daun’. Nama resminya adalah SARS-Cov-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2). Penyakitnya disebut Covid 19 (Corona Virus Disease 2019). Sampai di sini perkenalan diri Si Corona. Aku tidak mau menyebutkan gejalanya. Percuma. Di televisi, kulihat banyak sekali orang yang baru percaya bahaya Si Corona setelah mengalami ‘serangannya’ secara langsung. Terutama pemerintah pusat yang masih haha hihi ketika Wuhan sedang panik-paniknya. Bayangkan, tiket pesawat domestik tujuan daerah pariwisata diskon 50%. Saat Si Corona ini tiba di bumi pertiwi, mereka masih main politik tipu-tipu. Hmm, kurang menyebalkan apa mereka?!             Bagaimanapun juga, aku tidak ingin terus-terusan marah. Suara akar rumput, kaum rebahan pula, tidak akan berpengaruh apa-apa. Sebagai bagian dari kaum rebahan -mahasiswa tingkat akhir yang tinggal berkutat dengan penelitian, dilanjut rebahan- memang sebaiknya aku

Resensi Generasi Strawberry

Judul: Strawberry Generation Penulis: Prof. Rhenald Kasali, Ph.D Penerbit: Mizan Tahun Terbit: 2017 Jumlah Halaman: 279 halaman Resensi oleh: Afif Yati Prof. Rhenald Kasali menyebut generasi saat ini sebagai generasi strawberry. Diibaratkan strawberry, generasi saat ini terlihat bagus tapi rapuh. Bahkan digosok dengan sikat gigi saja ia bisa rusak. Padahal sikat gigi terasa lembut bagi gigi kita. Singkatnya, generasi ini cenderung lemah, malas, minim pengalaman, tidak pandai mengambil keputusan, mudah terluka hatinya, sulit keluar dari zona nyaman, dan bermental passenger. Kenapa generasi ini menjadi seperti strawberry? Penulis menyebutkan setidaknya ada tiga kesalahan dalam pembentukan generasi ini yaitu kesalahan dalam pengasuhan orang tua, kesalahan dalam pendidikan, dan kondisi lingkungan yang sudah berubah. Sebagian besar masyarakat kita memiliki kecukupan finansial untuk memenuhi segala kebutuhan anaknya. Anak-anak itu kemudian akan hidup dalam kemudahan dan