Petikan Hikmah di Sebuah Peternakan Sapi
Oleh: Afif Yati
Ketika Allah memperjalankan hamba-Nya
Pagi ini, aku pergi menggiling daging ke jalan
kaliurang. Berdasarkan informasi yang kuterima dari salah satu jamaah di grup
halal class maskam, tempat penggilingan daging tersebut di km 9.8, di kanan
jalan bertulisan Sri Ayu. Setibanya di sana aku melihat pramusajinya adalah
laki-laki bercelana cingkrak, berjenggot cukup tebal, dan berpeci putih. Aku
membatin, “sunnah.”
Tanpa ragu aku langsung bertanya, “apakah di sini ada
penggilingan daging, pak”. Walaupun pramusajinya adalah lelaki yang masih muda,
aku tetap memanggilnya ‘pak’. Sungguh,
ini efek dari dua tahun berdinamika di Jama’ah Shalahuddin. “maaf mba, bukan di
sini. Penggilingan Sri Ayu di dekat peternakan mba. Mba dari sini, tidak jauh
di utara pom bensin itu ada gang. Lalu masuk aja, mba. Mentok sampai ujung. Di
kiri itu penggilingan dagingnya” jelas pramusaji tersebut. “Terima kasih
banyak, pak.”
Aku langsung menuju ke tempat yang dimaksud.
Sesampainya di sana, aku melihat sebuah mesin dengan beberapa rangkaian yang
cukup besar sudah bersih dan masih basah. Terlihat seorang bapak berbaju
coklat, bermandikan keringat, gempal, putih, berjenggot tipis, dan bercelana
setinggi betis. Aku sempat membatin “kenapa sudah bersih? Apakah sudah tutup?”
bapak tersebut keluar dari ruang penggilingan dan menghampiri saya. “Maaf, pak.
Apakah masih menggiling daging?” tanyaku malu-malu. “Iya, mba. Sudah ada
bumbunya?” Gaawat. Aku tidak tau apa-apa sama sekali. Yang aku ingat adalah aku
hanya perlu meggiling daging dan menyiapkan uang secukupnya untuk upah penggilingan
tersebut. “Maaf, pak saya baru pertama mencoba bikin bakso. Gatau apa-apa.
Kalau dari sini ada gak tepung dan bumbunya, pak?” Aku benar-benar malu. “Oh. Ada mba.”
Sang bapak kemudian ke rumahnya. Rumah cukup mewah,
dua lantai, dan berpagar besi. Kemudian sang bapak datang dangan putrinya.
Mereka menawariku macam-macam perbandingan yang biasa dipakai. Lagi-lagi, blasss
aku tidak mengerti sama sekali. “Manut nggih, pak. Sing penting jadi dan enak.
Hehe.” Parah. Kali ini aku benar-benar merasa sebagai seorang anak dari
generasi instan. Maunya langsung jadi.
Daging tak kunjung digiling. Sang bapak dan anaknya
mondar-mandir mencari es batu. Karena tidak suka diam menunggu, aku langsung
berjalan menuju peternakan Sri Ayu. Pertama masuk, aku langsung melihat tempat
pemotongan daging. Di sana duduk seorang lelaki tanpa baju. Aku memberanikan
diri melihat lelaki itu. Kupikir celananya menutupi pusatnya. Setelah kuamati,
aku memutuskan untuk melihat dari belakang. Terlihat tattoo di belikat
kirinya. Ok. Kini aku melihat hal yang berbeda. Kemudian aku melihat dua anak
kecil sedang membuang-buang batu ke parit. Dengan sok ramahnya, aku menyapa
mereka, “hei,,,, lagi ngapain?” No Answer. Mereka hanya melihatku sekilas.
Aku menoleh kearah kiri dan melihat banyak sapi gemuk
sedang bersungkur, melipatkan keempat kakinya, dan menengok sekitar. Beberapa
dari mereka memandangku cukup lama. Konon katanya sapi bisa marah melihat
apapun yang berwarna merah. Tak jauh dari kandang, aku melihat seorang wanita
berjilbab dan seorang lelaki serta seorang ibu dan bayinya di depan sebuah
gubuk kecil. Kemudian aku menghampiri mereka sementara wanita dan lelaki itu
pun juga berpamitan dan langsung pergi. Bayi laki-laki itu melompat-lompat di
paha ibunya. Tubuhnya yang berisi dan jika dibandingkan dengan anak
seumurannya, dapat disebut ia adalah bayi kekar. Komposisi besar, tinggi, dan
kepadatan otot yang sangat seimbang membuatnya terlihat atletis saat melompati
paha ibunya. Ia langsung tertawa ketika aku mendekatinya. Sungguh menggemaskan.
“Assalamualaikum” ucapku. “waalaikum salam” jawab ramah ibu tersebut. Mataku
mencuri-curi melirik rokok yang masih menyala di sebuah asbak. Selain merasa
miris, aku juga khawatir tidak akan nyaman di sana. Kendati begitu, aku masih
tertarik dengan bayi kekar ini.
“Gede badannya ya. Buat mba gemes deh.
Lompat-lompat-lompat. Eh. Eh.” Ia pun tertawa ketika aku menimangnya.
“Alhamdulillah mba. Padahal baru bangun lo. Syukur Alhamdulillah pinter, ga
nangis, sehat juga.” jawab sang ibu. Mendengar ucapan seperti itu, aku merasa
sedikit terkejut. Ucapan yang jauh lebih halus dan lebih ramah dari pada
penampilan pakaiannya. “MasyaAllah. Bangun tidur langsung olahraga ya. Mumpung
masih pagi, mba. Aku mau olahraga. Biar sehat.” Aku masih asik menimangnya.
Kemudian sang ibu berkata, “aku yo mba, pernah di sini dulu.” Aku menjawab
dalam hati, “loh. Emang sekarang di mana?” “Dulu aku di sini juga kerja sama
suamiku. Kerja sama bapak ini. tapi ada aturan yang buat aku ga nyaman. Emang
bagus sih aturannya. Tapi aku masih belum bisa nerima mba. Itu lo mba, aku kudu
pake jilbab. Aku kan perokok ya mba, mana ada perokok berjilbab kan mba. Dari
pada aneh-aneh ya aku resign aja. Orang-orang pasti ga nerima. Orang berjilbab
kok malah merokok, mba. Ga enak juga sama bapak. Bapak sama ibu habis haji, jadi ibu pakai cadar.
Daripada malu-maluin dan gabisa diatur bos, mending resign to mba. Tapi
abis itu, aku diajak lagi dan bisa ke sini lagi sama suamiku.” Mendengar cerita
itu, aku bingung. Tentu saja itu bukan masalah besar, tapi menjawabnya juga
harus hati-hati. Mikir dulu. Aku kemudian menjawab, “sebenarnya itu gabisa
dipaksakan sih mba. Jilbab dan merokok itu hal yang berbeda. ketika kita ingin
berubah, memang sulit meninggalkan kebiasaan lama. Mungkin mba bisa merokok ngumpet-ngumpet.
Sayangnya memang orang-orang sekitar kita kadang suka menghakimi.” Tapi aku
bener-bener gabisa ninggalin rokok, mba.” “Bagaimanapun tanggapan orang sekitar,
kalau niatnya berubah menjadi lebih baik ya dilakukan aja mba. Soal rokok itu
ya soal kemudian. Tidak menjadi penghalang untuk berubah. Sejatinya Islam itu
melihat manusia dari sisi baiknya dahulu, mba. Tidak baik bagi kita menghakimi
orang lain.” Secara tiba-tiba saja aku menyebutkan kalimat ustadzku itu. “Oh.
Iya. Nenek saya juga gitu. Kalo kakek saya malah dari umur 7 tahun, mba. Tapi
beliau memang meninggal dunianya muda.” “Saya malah ga inget kapan pertama merokok.
Udah gabisa lepas lagi. Mending kalau kedinginan dan lain-lain. Aku malah
gabisa bangun, mba. Bahkan ibu pernah sampai membawaku ke klinik buat periksa
tubuhku. Kan mahal ya mba. Mereka itu mikirnya dengan sering minum kopi dan
merokok, tubuhku banyak racun. Tapi abis diperiksa, malah normal. Memang sudah
jadi kebutuhan sejak kecil dan susah ditinggalkan. Mencoba berhenti malah
sakit.”Tuturnya dengan menatap wajahku. “yang penting si dedek ga merokok dan
minum kopi sih mba udah syukur banget.” Lagi-lagi aku hanya berani membatin.
Bayi itu kini bersandar di tubuh ibunya. “Capek ya
dek? Sudah ya olahraganya?” Ia tertawa seakan mengerti celotehanku.
Aku tidak lagi mendengar suara mesin penggilingan. Lalu
aku memutuskan pulang dan berpamitan. “Main-main ke sini lagi ya mba.” Kata ibu
itu seakan menyuarakan kalimat anaknya.
Dalam perjalanan menuju penggilingan, aku mengomel
pada diriku sendiri, “Seharusnya tadi aku bilang ke ibunya supaya mendirikan
salat dulu, puasa, berzakat, dan membaca Al-Qur’an. Kenapa ga bilang sih? Kan itu
bisa dilakukan tanpa terbebani kondisi itu. Aduh. Ga peka banget. Ok. Aku harus
ke sini lagi.”
Daging sudah halus lengkap dengan bumbu dan tepung
yang sudah dicampur rata. Aku kemudian membayarnya lalu pamit pulang. Seribu satu
ide lalu berkerumun di kepalaku.
*beberapa nama adalah samaran
Cerita ibunya ajib dah.
BalasHapus