“Bu, Najib ke mana?” “ke desa sebelah, tilawah buat keberangkatan haji Bu… tadi dia ga sekolah” “loh, bu. Sudah berapa kali seperti ini?” “sudah ketiga kalinya di bulan ini”. Aku melempar tubuhku ke Kasur, menarik napas panjang, dan berusaha menghelanya perlahan-lahan. “oalah… baiklah, bu. Nanti jangan bosan ngingatinnya belajar ya, Bu. Ibu udah tua tetap harus semangat. Anaknya masih kecil-kecil. Hihi.” Kataku sedikit menggoda ibuku. Percakapan via telpon itu kemudian segera kami akhiri. Aku melanjutkan berpikir yang tidak ada habis-habisnya. Kenapa bisa meninggalkan sekolah dengan entengnya hanya demi menjadi Qori di acara pernikahan dan majelis haji orang-orang? Adikku yang ke dua, Najib, saat itu adalah seorang siswa Madrasah Tsanawiyah yang berprestasi di bidang Tilawatil Qur’an. Namanya semakin banyak dikenal setelah menjuarai Musabaqah Tilawatil Qur’an tingkat kabupaten. Hal lain yang membuat ia semakin disukai oleh orang-orang adalah kesopanannya kepada orang tua